Sabtu, 26 Juli 2014

MENCARI KEBAHAGIAAN HIDUP

Coba tebak kira-kira Siapa yang paling bahagia dan paling tidak berbahagia ? Peraih Emas, Perak atau Perunggu ?
Yang paling bahagia adalah peraih perunggu, karena dia merasa beruntung dapat medali daripada tidak sama sekali. yang merasa kurang beruntung adalah peraih perak. Karena dia merasa sedikt lagi dia akan meraih emas.
Namun demikian yang namanya Kebahagiaan itu bersifat relatif karena persepsinya berbeda dan berubah dari waktu ke waktu.
Orang mengeluh bahwa dirinya tidak bahagia. Hal ini terutama disebabkan ketika mencapai suatu level tertentu namun ketika melihat orang lain, ternyata kita ingin menjadi seperti orang lain.
Cara umum berbahagia  adalah Mensyukuri apa yang sudah dimiliki dan tidak menyesali apa yang tidak dimiliki.
Namun jangan juga disalahartikan menjadi tidak mau berusaha, tidak mau menggali potensi dan berkelit dari tanggung jawab karena merasa sudah bahagia.
KeBahagiaan adalah deviasi dari tiga Faktor :
1.     Persepsi :  Hal ini terutama Diawal, Asumsi bahwa kebahagiaan diperoleh jika berada pada kondisi tertentu berdasarkan informasi dan pengalaman orang lain.
2.   Potensi : Di tengah, ketika kebahagiaan dihitung berdasarkan besar kecil usaha untuk mencapai kebahagiaan bukan berdasarkan potensi
3.   Prestasi : di akhir, yaitu ketika Kebahagiaan diukur berdasarkan apa yang dapat dilihat.
Bahagia bisa diperoleh jika kita berhasil mencapai Prestasi . Namun kebahagiaan tetap bisa diperoleh walaupun tidak berhasil. Yaitu jika kita meyakini bahwa kita sudah mengerahkan semua potensi terbaik yang kita miliki.
Banyak orang menjalani hidup tapi tidak menikmati hidup karena berorientasi kepada Hasil bukan pada proses.  Untuk dapat menikmati hidup maka kita harus menganggap bahwa setiap hari adalah hari terakhir kita dan menikmati proses yang terjadi.
Orang melihat kebahagiaan sebagai hasil dari kesuksesan. Padahal banyak orang sukses ternyata tidak Bahagia.
Ada 4 tipe manusia :
1.     Sukses dan bahagia
2.   Sukses tapi tidak bahagia
3.   Tidak sukses tapi bahagia
4.   Tidak sukses dan tidak bahagia
Musuh terbesar kebahagiaan adalah KEGAGALAN.  Ketika seseorang Mengatakan Gagal maka dia menutup diri sendiri dari kemungkinan berhasil. Seharusnya Bukan Gagal tapi belum Berhasil. Orang yang tidak pernah Gagal adalah orang yang tidak pernah mencoba dan itu adalah kegagalan terbesar. Kegagalan adalah cara Allah memberikan Inspirasi bahwa cara yang kita lakukan tidak tepat. Jadi Gagal sebenarnya bukan situasi tapi persepsi yang kita ciptakan sendiri. Persepsi kita bisa mengatakan bahwa gagal itu permanen atau temporer.
Kebahagiaan :
1.     Positive Emotion
2.   Engagement (Flowing/Keterlibatan) à Khusyu
3.   Relationship
4.   Meaning
5.    Accomplishment
Orang sukses jika happines level lebih tinggi walaupun skill lebih rendah. Kalau bahagia tapi skill kurang maka akan mencari cara untuk meningkatkan skill.
MENCARI BAHAGIA MENURUT AL QURAN DAN AS SUNAH dilakukan dengan:
1.     Beriman dan beramal salih.
“Siapa yang beramal salih baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (An-Nahl: 97).
2.   Khusyu : Menyatukan Jiwa, Pikiran dan Badan.
3.   Bangun lebih pagi : Asah pikiran dan hati untuk mengembangkan diri, Olah raga, Bereskan hal2 kecil, Meditasi
4.   Banyak mengingat Allah .
Dengan berzikir kita akan mendapat kelapangan dan ketenangan sekali gus bebas daripada rasa gelisah dan gundah gulana. Firman Allah: “Ketahuilah dengan mengingat (berzikir) kepada Allah akan tenang hati itu.” (Ar-Ra’d: 28)
5.    Bersandar kepada Allah.
Dengan cara ini seorang hamba akan memiliki kekuatan jiwa dan tidak mudah putus asa dan kecewa. Allah berfirman:“Siapa yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan mencukupinya.” (Ath-Thalaq: 3)
6.   Sentiasa mencari peluang untuk berbuat baik.
Berbuat baik kepada makhluk dalam bentuk ucapan mahupun perbuatan dengan ikhlas dan mengharapkan pahala daripada Allah akan memberi ketenangan hati.
Firman-Nya: “Tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh ( manusia) untuk bersedekah atau berbuat kebaikan dan ketaatan atau memperbaiki hubungan di antara manusia. Barang siapa melakukan hal itu karena mengharapkan keredaan Allah, nescaya kelak Kami akan berikan padanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
7.    Tidak panjang angan-angan tentang masa depan dan tidak meratapi masa silam.
BerFikir tetapi jangan kuatir. Jangan banyak berangan-angan terhadap masa depan yang belum pasti. Ini akan menimbulkan rasa gelisah oleh kesukaran yang belum tentu datang. Juga tidak terus meratapi kegagalan dan kepahitan masa lalu karena apa yang telah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan semula. Rasulullah SAW bersabda: “Bersemangatlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah lemah. Bila menimpamu sesuatu (dari perkara yang tidak disukai) janganlah engkau berkata: “Seandainya aku melakukan ini niscaya akan begini dan begitu,” akan tetapi katakanlah: “Allah telah menetapkan dan apa yang Dia inginkan Dia akan lakukan,” karena sesungguhnya kalimat ‘seandainya’ itu membuka amalan syaitan.” (HR. Muslim)
8.   Melihat “kelebihan” bukan kekurangan diri.
Lihatlah orang yang di bawah dari segi kehidupan dunia, misalnya dalam rezeki karena dengan begitu kita tidak akan meremehkan nikmat Allah yang diberikan Allah kepada kita. Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah orang yang di bawah kamu dan jangan melihat orang yang di atas kamu karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya kepada kamu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
9.   Jangan mengharapkan ucapan terima kasih manusia. Ketika melakukan sesuatu kebaikan, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan manusia. Berharaplah hanya kepada Allah.  Malah ada di antara hukama berkata, “sekiranya kita mengharapkan ucapan terima kasih daripada manusia nescaya kita akan menjadi orang yang sakit jiwa!”. Firman Allah: “Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al Insan: 9)
Allah mendefinisikan bahwa mereka yang bahagia itu adalah mereka yang berada di surga. Siapa Saja yang Berada di Surga?
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (TQS. 11:105)
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (TQS. 11:108)
“Dan orang-orang yang beriman (amanu) serta beramal shalih (amilu shalihat), mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (TQS. 2:82)
“Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka (dengan mengatakan): “Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (adzab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?” Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul”. Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dzalim,” (TQS.7:44 )
“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir,” (TQS.7:50)
“Bagi orang-orang yang berbuat baik (ahsanu), ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (TQS.10:26)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (amanu) dan mengerjakan amal-amal shalih (amilu shalihat) dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka (ahbatuu ila Rabbihi) , mereka itu adalah penghuni-penghuni surga mereka kekal di dalamnya.” (TQS.11:23)
“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya (khoirun mustaqarran wa ahsanu maqilan).(TQS.25:24)
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (al yauma fii sughulin faakihatin).” (TQS.36:55)
“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS.46:14)
“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.”(TQS.46:16)
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa (al-muttaqun) yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (TQS.47:15)
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (TQS.55:56)
“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (TQS.55:74)
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS.59:20)
Apa saja akan diusahakan dan dilakukan oleh manusia untuk mencapai bahagia. Sayangnya, keinginan manusia untuk bahagia sering tidak kesampaian. Ini disebabkan manusia tidak tahu apa makna bahagia sebenarnya dan mereka juga tidak tahu bagaimanakah cara  untuk mendapatkannya. Jika kita mencari sesuatu yang tidak diketahui dan dikenali, sudah pasti kita tidak akan menemuinya. Karena itu usaha mencari kebahagiaan itu harus bermula dari mencari apa arti kebahagiaan itu terlebih dahulu.
Apakah arti bahagia? Bahagia itu relatif. Ia berubah-ubah antara seorang individu dengan yang lain. Bagi yang sakit, sehat itu dirasakan bahagia. Tetapi apabila sudah sehat, kebahagiaan itu bukan pada kesehatan lagi. Sudah beralih kepada perkara yang lain lagi. kebahagiaan itu adalah satu “moving target” yang tidak spesifik artinya.
Ada pula golongan pesimis. Mereka beranggapan bahwa tidak ada bahagia di dunia ini. Hidup adalah untuk menderita. Manusia dilahirkan bersama tangisan, hidup bersama tangisan dan akan dihantar ke kubur dengan tangisan. Bahagia adalah satu ilusi atau angan-angan. Ia tidak ujud dalam kenyataan.
Sumber itu berasal dari dalam atau luar?
Sebagian merasakan bahwa bahagia itu bersumber dari faktor luar. Ia bersumber daripada harta, kuasa, rupa, nama dan kelulusan yang dimiliki oleh seseorang. Golongan ini merasakan jika menjadi hartawan, negarawan, bangsawan, rupawan, kenamaan dan cendekiawan maka secara automatik bahagialah mereka.Manusia akan melakukan apa saja untuk memiliki harta, kuasa dan lain-lain lagi.
Pertanyaannya, apakah hidup para hartawan, rupawan, bangsawan, kenamaan dan cendekiawan itu bahagia?
Sudah menjadi “rules of life” (sunatullah), bahwa manusia tidak mendapat semua yang diingininya. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengelakkan diri daripada sesuatu yang tidak disenanginya. Hidup adalah satu ujian yang menimpa semua manusia dalam hal kedudukan, harta dan pangkatnya. Firman Allah:“Dijadikan mati dan hidup adalah untuk menguji manusia siapakah yang terbaik amalannya.” Al Mulk.
Si kaya mungkin memiliki harta yang berjuta, tetapi mana mungkin dia mengelakkan diri daripada sakit, tua dan mati?  Sakit, menjadi tua, cercaan, dijatuhkan dan lain-lain ujian hidup telah menumpaskan hartawan, rupawan, negarawan dan cendekiawan dalam perlumbaan mencari kebahagiaan.
Apa buktinya, mereka tidak bahagia? Mereka yang memiliki rupa yang cantik, harta yang berbilion dolar, nama yang tersohor tetapi ternyata dilanda pelbagai masalah kronik. Mereka yang terlibat dengan arak, rumah tangga cerai berai, zinah, sakit jiwa dan bunuh diri ini sudah tentu tidak bahagia. Jika mereka bahagia dengan nama, harta dan rupa yang dimiliki tentulah mereka tidak akan terlibat dengan semua kekacauan jiwa. Tentu ada sesuatu yang “hilang” di tengah tumpukan harta, rupa yang cantik dan nama yang popular itu.
Lalu, Apakah benar ujian hidup menghilangkan rasa bahagia dalam kehidupan ini? Apakah sakit, usia tua, cercaan manusia, kemiskinan, kegagalan, kekalahan dan lain-lain ujian hidup menjadi sebab hilangnya bahagia? Jawabnya, tidak!
Jika kita beranggapan bahwa ujian hidup itu penyebab hilangnya bahagia maka kita sudah termasuk dalam golongan pesimis yang beranggapan tidak ada kebahagiaan di dunia. Mengapa begitu? Kerana hakikatnya hidup adalah untuk diuji. Itu adalah peraturan hidup yang tidak boleh dielakkan. Sekiranya benar itu penyebab hilangnya bahagia, maka tidak ada seorang pun manusia yang akan bahagia kerana semua manusia pasti diuji.
Atas dasar itu, ujian hidup bukan penyebab hilangnya bahagia. Sebagai perumpamaan, jika air jeruk nipis diletakkan di atas tangan yang biasa, maka kita tidak akan berasa apa-apa. Sebaliknya, jika air limau itu dititiskan di atas tangan yang luka maka pedihnya akan terasa. Jadi apakah yang menyebabkan rasa pedih itu? Air limau itu kah atau tangan yang luka itu? Tentu jawapannya, luka di tangan itu.
Air jeruk itu adalah perumpamaan ujian hidup, tangan yang luka itu ialah hati yang sakit. Hati yang sakit ialah hati yang dipenuhi oleh sifat-sifat takbur, hasad dengki, marah, kecewa, putus asa, dendam, takut, cinta dunia, gila puji, tamak dan lain-lain lagi. Ujian hidup yang menimpa diri hakikatnya menimbulkan sifat mazmumah yang bersarang di dalam hati. Bila diuji dengan cercaan manusia, timbullah rasa kecewa, marah atau dendam. Bila diuji dengan harta, muncullah sifat tamak, gila puji dan takbur.
Justeru, miskin, cercaan manusia bukanlah penyebab hilang bahagia tetapi rasa kecewa, marah dan tidak sabar itulah yang menyebabkannya. Ujian hidup hakikatnya hanya menyelaraskan dengan kondisi hati yang tidak bahagia lama sebelum ia menimpa seseorang.
Terbuktilah bahwa pendapat bahagia itu datang dari luar ke dalam tidak benar sama sekali. Justru “kesehatan” hati yang menentukan bahagia atau tidaknya seseorang. Ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kebahagiaan itu datang dari dalam ke luar – soal hati.
Kebahagiaan itu ialah memiliki hati yang tenang dalam menghadapi apa juga ujian dalam kehidupan.
“Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang.” Al Ra’du 28.
Rasulullah S.A.W bersabda lagi: ” Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda tetapi kekayaan itu sebenarnya ialah kaya hati “
Kaya hati bermaksud hati yang tenang, lapang dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki – bersyukur dengan apa yang ada, sabar dengan apa yang tiada.
Hati perlu dibersihkan serta dipelihara “kesehatannya” agar lahir sifat-sifat amanah, sabar, syukur, qanaah, reda, pemaaf dan sebagainya. kebahagiaan ialah apabila hati seseorang mampu mendorong pemiliknya melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan dan larangan yang ditentukan oleh Islam dengan mudah dan secara “auto pilot”.


Senin, 14 Juli 2014

Artikel Ramadhan (1)


MEMBENINGKAN HATI MENGGAPAI CAHAYA ILAHI


Oleh :

Dr. Agus Nugraha, MA

Pengantar

Drama kehidupan manusia penuh  warna warni dengan hawa nafsu yang terus menguasai.  Dunia politik mempertontonkan nafsu kekuasaan, yang siap menyikut dan melibas siapa saja yang menghalangi ambisi. Ekonomi kapitalis mampu menunjukkan kedigjayaannya dalam menumpuk harta, guna memuaskan keserakahan duniawi. Birokrasi terus sibuk melaksanakan amalan korupsi, kolusi dan nepotisme untuk memenuhi hajat hidup pribadi. Para penegak hukum masih juga berani mempermaikan keadilan, demi sebungkus nasi dan sebuah mersi. Sementara itu itu rakyat semakin frustasi dengan himpitan ekonomi, yang membuatnya bertindak penuh emosi tanpa kendali.
Dominasi hawa nafsu yang menyeret manusia pada kerusakan dan kebinasaan, selalu menghiasi liputan-liputan media masa. Pertikaian politik di berbagai kawasan terus berlangsung silih berganti, praktek korupsi milyaran dan trilyunan masih terus terjadi, kebodohan dan kemiskinan masih belum juga bisa diatasi, serta pembunuhan, perampokan dan pemerkosan berjalan terus tiada henti.
            Saatnyalah kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan menghampiri dalam naungan cahaya ilahi sebagai sumber kebenaran sejati. Untuk itu marilah kita semua kembali kepada kebeningan hati.

Kenapa Hati ?

Hati memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Secara jasadiyah, hati yang merupakan segumpal daging yang terletak dalam rongga dada,  berfungsi mengambil sari-sari makanan didalam darah dan menghasilkan empedu. Sedangkan secara batiniah, hati berfungsi sebagai tempat segala  kesadaran batin serta tempat menyimpan pengertian dan perasaan1.
Jika hati jasmaniah terluka, maka kita menjadi sakit. Jika ia mengalami kerusakan berat, maka kita pun meninggalkan dunia yang fana ini. Begitu pula, jika hati batiniah kita terjangkiti sifat-sifat buruk dari nafs ( hawa nafsu), maka kita akan sakit secara spiritual. Jika hati tersebut secara keseluruhan didominasi oleh nafs, maka kehidupan spiritual kita pun akan mati.2
Sakit atau bahkan matinya hati batiniah, ternyata jauh lebih berbahaya dibanding sakit atau matinya hati badaniah. Karena jika hati badaniah yang sakit, yang dirugikan hanyalah diri sendiri dan pihak-piahk lain yang terkat. Sementara sakit dan matinya hati batiniah dapat merusak kesehatan jasmaniah dan merugikan banyak orang atas tindakannya yang keliru, kebencian yang berujung dengan pembunuhan, keserakahan, kekejaman dan sebagainya. Apalagi jika yang sakit hati itu para pemimpin yang membawahi banyak bawahan dan memerintah jutaan umat manusia.
Sementara itu, hati batiniah yang bening dapat memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya kebenaran, serta menyucikan kepribadian dari sifat-sifat buruk manusia3. Sehingga lahirlah pribadi manusia sempurna (insan kamil) yang memiliki semangat juang yang tinggi, tajam daya fikirnya, sensitif perasaannya, istiqamah dalam kebenaran, berfikir positif, adil, jujur dan sejumlah sifat-sifat terpuji lainnya.
Vitalnya fungsi hati dalam menentukan merah birunya kehidupan manusia, secara tegas dinyatakan Rasulullah SAW : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya didalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati” (H.R. Bukhari – Muslim)4.
Hadist tersebut mengibaratkan hati sebagai panglima yang mengendalikan pasukan, dan memberikan instruksi pada para prajuritnya. Artinya hati adalah raja bagi organ tubuh manusia, dimana organ tubuh adalah pelaksana apa saja yang diinginkan hati. Sehingga baik buruknya prilaku manusia, atau sukses tidaknya sesorang dalam suatu pencapaian tujuan,  akan bergantung pada kondisi hatinya.
Secara empiris pentingnya hati dalam kegiatan usaha manusia dikemukakan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD, konsultan manajemen senior menyatakan bahwa “pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan adalah mereka yang  memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas, selalu mengupayakan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. Para pemimpin yang sukses lebih mengamalkan nilai-nilai ruhaniyah ketimbang orang lain”. Jadi pemimpin yang berhasil memajukan perusahaannya adalah pemimpin yang memimpin dengan hatinya. Kesimpulan tersebut diambil setelah mengadakan  penelitan dari 800-an manjer perusahan yang mereka tanganni selama 25 tahun  Begitu pula Bob Galvin bercerita tentang ayahnya pendiri Motorola, “Suatu ketika ayah melihat pada sebarisan karyawan perempuan dan berfikir mereka seperti ibu saya sendiri-mereka memiliki anak-anak,  rumah yang harus dijaga, dan orang-orang yang membutuhkan mereka. Hal ini memotivasinya untuk bekerja keras agar bisa memberi mereka sebuah kehidupan  yang lebih baik karena ia melihat ibunya dalam diri seluruh karyawan perempuan itu” 5.
Dalam memimpin negara, Abu Bakr Ash-Shiddiq suksesor Rasulullah sebagai pemimpin umat, yang dipilih secara aklamasi oleh kaum muslimin, menyampaikan pidato pertamanya, setelah  diangkat sebagai khalifah: “ Saudara-saudara, Saya terpilih, meski saya bukanlah yang terbaik diantaramu. Bantulah saya jika saya berada di jalan yang benar, dan perbaiki jika saya berada di jalan yang salah. Kebenaran adalah kepercayaan; kesalahan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah diantaramu akan menjadi terkuat dihadapanku, sampai aku menunaikan hak-haknya. Sedangkan orang yang kuat diantaramu, aku anggap terlemah, sampai aku dapat mengambil hak si lemah dari tangannya. Patuhilah aku selama aku taat pada  Allah dan Rasulnya”6. Ungkapan Abu Bakar tersebut merupakan salah satu contoh dari ungkapan seorang negarawan yang memimpin dengan hati. 
Dari uraian diatas nampak jelas, baik secara normatif maupun empirik, hati memiliki peranan yang sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Karena kata hati merupakan kata yang suci dan Ilahi, yang dapat membimbing manusia pada kebenaran yang sejati.

Hakikat Batiniah Hati7

Dalam ma’na batiniah, hati  pada hakekatnya merupakan  sumber cahaya, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. Seorang guru sufi menuturkan, “jika kata-kata berasal dari hati, ia kan masuk kedalam hati, tetapi jika keluar dari lisan , maka ia hanya sekedar melewati pendengaran”.
Kita dapat membuka mata dan telinga hati untuk merasakan lebih dalam realitas-realitas batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang kompleks. Seorang guru sufi bertutur: “Hati memiliki mata yang digunakan untuk menikmati pemandangan alam ghaib, telinga untuk mendengar perkataan penghuni alam ghaib dan firman Tuhan, hidung untuk mencium wewangian yang ghaib dan mulut untuk merasakan cinta, manisnya keimanan, serta harumnya pengetahuan spiritual.
Hati adalah sebuah rumah yang ditempatkan Tuhan di dalam diri manusia, sebuah tempat untuk menampung percikan Illahi di dalam diri kita. Dalam sebuah hadits terkenal Allah berkata:”Aku yang tak cukup ditampung oleh langit dan bumi melainkan tertampung di dalam hati seorang beriman yang tulus”. Kuil didalam diri kita lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka jika kita melukai hati manusia, dosanya lebih besar daripada merusak tempat-tempat suci di dunia ini.
Untuk itu, haruslah menyadari bahwa hati setiap orang yang kita temui adalah kuil Tuhan. Banyak hati yang telah terlukai, dan kita dapat melayani ciptaan Allah tersebut dengan berusaha menyembuhkan hati-hati yang terluka. Sebagaimana dituturkan seorang guru sufi Anshori: “Semakin kita mencinta, semakin kita membuka hati kita”. Tindakan tanpa disertai cinta dan niat hati yang tulus, sama sekali tidak bermakna.
Banyak diantara kita membiarkan  pemujaan terhadap berhala-berhala dunia seperti kenikmatan duniawi yang sementara, ketenaran,uang, dan kekuasaan, memasuki hati kita. Oleh karena itu salah satu amalan penting adalah mengulang-ulang kata “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan selain Allah). Kedisiplinan untuk mengulang-ulang kata tersebut adalah untuk membersihkan hati agar benar-benar menjadi kuil yang pantas bagi kehadiran Illahi.

Hati sebagai Cahaya Ilahi8

Pemahaman spiritual adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan kepada hati kita. Ia laksana lampu yang membantu kita untuk dapat melihat. Cahaya Ilahiyah tersebut meliputi cahaya amaliah, cahaya iman, cahaya makrifat, cahaya kesatuan, dan cahaya keunikan.
Tiap-tiap cahaya hati tersebut bagaikan sebuah gunung. Cahaya amaliah di dalam dada sangatlah kuat dan mantap, sehingga tidak satupun di dunia ini yang dapat menghancurkannya selama Tuhan masih memeliharanya. Puncak gunung ini adalah berjuang melawan siat-sifat buruk dan melakukan perbuatan baik. Di atasnya bertengger seekor burung, yakni nafs tirani, nafs yang berada pada tingkat terendah. Burung tersebut terbang di lembah penyembahan terhadap tuhan-tuhan palsu, kekafiran, keraguan, kemunafikan dan sejenisnya. Nabi Muhammmad berkata, “Di dalam hati manusia terdapat banyak lembah dan jurang, dan dalam masing-masingnya terdapat tebing yang curam”. Kita tidak boleh membiarkan diri kita jatuh ke dalam jurang keraguan dan kemunafikan.
Gunung cahaya iman terletak di dalam hati, dan di atasnya terdapat burung nafs yang terilhami. Ia terbang ke dalam lembah kelemahan dan kejahatan. Gunung ini lebih tinggi dan lebih kokoh dari gunung cahaya amaliah. Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang yang beriman: “Keimanan di dalam dada bagaikan pegunungan yang kokoh.”
Walaupun nafs adalah bagian integral dari keseluruhan tindakan kita, termasuk do’a kita dan praktik keagamaan lainnya, ia tidak memiliki peran dalam pengetahuan batiniah kita. Puncak gunung ini adalah keyakinan terhadap Tuhan, serta penglihatan dan pemerolehan melalui cahaya iman yang tidak terlihat oleh mata.
Di atas gunung cahaya makrifat, dalam hati yang lebih dalam terdapat burung nafs penyesalan. Ia kadang terbang ke lembah kegembiraan, kebanggaan, dan kenikmatan dalam rakhmat Tuhan. Pada saat yang lain ia terbang ke lembah kebutuhan, kerendahan, mencemooh diri sendiri, kepapaan, dan kemiskinan. Ia mencakup sikap menyalahkan diri sendiri dan penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan.
Cahaya hati digambarkan dalam salah satu ayat al-Qur’an dalam Surat An-Nuur ayat 35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang yang gemerlapan seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, pohon  zaitun yang tumbuh tidak disebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat  perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Kebeningan Hati Memancarkan Cahaya Ilahi9

Seseorang yang memiliki hati yang bening, menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupannya. Karunia Tuhan berupa kenikmatan atau ujian, sama-sama memiliki makna spiritual yang tinggi. Karunia Tuhan adalah manifestasi kasih sayang-Nya kepada manusia. Ujian-Nya adalah wahana pendewasaan spiritual manusia. Dengan kata lain, kebeningan hati mampu mentransformasikan kesulitan menjadi medan penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. Semakin banyak kesulitan semakin mematangkan spiritualnya, sehingga memicu seseorang untuk maju, ketika yang lainnya mundur.
Begitu pula, alam semesta yang diciptakan menurut kehendak  Allah,  selalu memancarkan kehadiran-Nya. Al-Qur’an menyatakan:”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah selalu ada nampak ( 2 : 115 ). Ayat Al-Qur’an tersebut memiliki makna yang teramat istimewa dan dalam. Wajah Allah selalu hadir dimanapun kita berada, walaupun kadang kita tidak menyadarinya. Rumi dengan sangat cantik mengilustrasikan bagaimana dunia ini terisi penuh dengan kehadiran Allah.
Alam semesta menjadi  tempat untuk mencari kebesaran Allah. Dalam hadits yang sangat populer, Rasullullah bersabda Allah berfirman “Aku telah menjadi harta yang tersembunyi, Aku rindu untuk diketahui, untuk itu Aku membuat ciptaan dan alam semesta.” Pada satu sisi, hadits tersebut memberi makna bahwa alam semesta merupakan cermin dari sifat ketuhanan, Allah sepenuhnya hadir pada setiap orang dan setiap hal. Tetapi untuk menemukan Allah, kita mesti melihat hakekat bumi ini, untuk menelaah apa yang di dalam dan apa di luarnya. Pada sisi lain, ini berarti bahwa manusia diciptakan supaya mencari harta yang tersembunyi yakni Allah. Alam semesta merupakan suatu kosmik yang tersembunyi dan permainan yang mesti ditemukan. Maksudnya, alasan kita diciptakan adalah untuk menemukan Allah, dan manusia paling terbesar (mulia) adalah manusia yang dapat menemukan Allah. Sufi Turki, Yunus Emre menulis, “Kebenaran Tuhan laksana samudra luas, para hamba-Nya mesti mencebur ke lautan untuk menyelam guna mendapatkan emas permata”.
Selama ini orang berasumsi bahwa manusia tidak lebih dari sekedar fisik tubuhnya dan akal pikiran dikembangkan dari susunan syaraf fisiknya tersebut. Padahal hal yang teramat  penting dalam kehidupan ini adalah nilai spiritulal dari hati manusia. Yang menjadi tempat intuisi dari dalam pemahaman dan kearifan kita dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai ketuhanan. Kapanpun kita menggali  manusia secara mendalam, maka kita akan menemukan nilai-nilai  ketuhanan yang tiada terhingga.  Ini penting untuk mengetahui dari mana kita berasal dan kemana akan terus berlangsuing hidup setelah kita mati.
Misi kita adalah untuk menemukan nilai-nilai ketuhanan dalam diri kita dan untuk belajar hidup dalam bimbingan hati naluri ketuhanan kita yang alamiah. Bimbingan dari dalam,  berasal dari nilai-nilai spiritual  hati yang wujud dalam kehidupan manusia. Setiap saat kita dibimbing Allah melalui hati kita dan bukan oleh prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang datang dari luar diri manusia.

Proses Pembeningan Hati

Hati memiliki satu wajah yang menghadap ke dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia nafs dengan sifat-sifat buruknya. Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran dan tindakan. Setiap kata dan tindakan yang baik memperlembut atau membeningkan hati, dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras atau mengotori hati. 
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengumpamakan hati manusia seperti cermin (al-mir’ah)10. Cermin yang mengkilat bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda dan dosa yang diperbuat manusia. Satu kali kita berbuat dosa maka satu noda hitam dalam hati, jika perbuatan dosa tersebut terus menerus dilakukan, maka hati kita menjadi hitam pekat.  Maka jika seseorang selalu menjaga kebersihan jiwanya, titik-titik noda itu akan hilang, sehingga hati tersebut akan kembali bersinar menerima pantulan dan pancaran nur Ilahi.
 Manusia perlu menyadari bahwa kehidupan ini selalu terjadi kompetisi antara dirinya dengan nafsu yang ingin menguasainya. Sehingga manusia tidak mampu menangkap sinyal spiritual. Ketidakmampuan manusia menangkap cahaya ilahiyah, pada dasarnya disebabkan tiga hal11:
1.    Cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi seterang apapun tidak dapat ditangkap oleh hati yang dimilikinya.
2.    Diantara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Dalam hal ini  yakni orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
3.    Cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya, sehingga tidak tersentuh cahaya petunjuk ilahi. Misalnya orang-orang yang kafir yang sengaja dan sadar mengingkari Tuhan.

Untuk itu pembersihan hati mutlak diperlukan, yang secara umum melalui tiga jenjang : pengosongan
sifat-sifat tercela (takhalli), pengisian dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan  pencapaian kejernihan hati,
berada dalam satu garis dengan Allah (tajalli).
Banyak sekali motode yang dikembangkan untuk membersihkan hati, terutama pengalaman-pengalaman para sufi. Semuanya baik dan sudah teruji bagi yang telah mengalaminya. Namun demikian kita bisa memilih yang dirasa cocok dan sesuai dengan keadaan diri kita. Secara umum proses pembeningan hati meliputi tahapan sebagai berikut 12:

1.    Kesadaran diri
 Untuk membersihkan penyakit hati, sebagai langkah pertama harus ada kesadaran diri tentang penyakit hati yang ada pada dirinya  dengan berbagai dampak negatifnya. Tanpa kesadaran dari diri sendiri, sulit diharapkan adanya perbaikan diri. Karena kadang orang  tidak menyadari bahwa hatinya dihinggapi berbagai penyakit yang harus disembuhkan. Kesadaran biasanya timbul karena adanya cubitan dari Yang Maha Kuasa melalui beragam peristiwa. Seperti meninggalnya orang-orang terdekat, penyakit yang sulit disembuhkan,  berbagai kesulitan hidup yang dihadapi, dan sebagainya. Bagi orang yang bertaqwa, kesadaran diri tumbuh dalam setiap kesempatan termasuk pada saat mendapat godaan syetan untuk melakukan perbuatan dosa. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, apabila mereka mendapat gangguan syetan, mereka teringat lalu mereka menyadarinya.” (Q.S. Al-A’raaf : 201)
Setelah kita mengetahui penyakit hati kita, maka dengan penuh kesadaran kita membuang jauh-jauh penyakit tersebut karena   banyak  menimbulkan efek negatif dalam kehidupan kita, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

2.    Evaluasi diri (Muhasabah)
Seperti halnya pengobatan penyakit jasmani, pada tahap awal dilakukan diagnosa atau pemeriksaan untuk memastikan jenis penyakitnya. Begitu pula penyembuhan penyakit hati, perlu dilakukan diagnosa untuk meneliti jenis penyakitnya. Untuk mengenali penyakit hati, maka dilakukan  muhasabah diri dengan ngevaluasi perjalanan hidup serta sifat-sifat buruk yang kita lakukan selama ini. Untuk melengkapi potret diri, juga bisa meminta bantuan orang-orang  terdekat  seperti keluarga, kawan, guru dan sebagainya, untuk memberi penilaian secara jujur tentang diri kita termasuk sifat-sifat tercelanya.
Koreksi diri merupakan langkah awal yang baik dalam pembasmian penyakit-penyakit hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang pandai adalah orang yang mengoreksi dirinya, dan menyiapkan  amal shalih sebagai bekal untuk mati. Sementara orang lemah adalah oarang yang selalu menurutkan keinginannya dan mengharapkan berbagai angan-angannya”. (H.R Tirmidzi). Selain itu dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegor dirinya sendiri”. (Q.S. Al-Qiyaamah :2)

3.    Tobat dan Istighfar
Setelah mendiagnosa  penyakit hati dan kita menyadari akan berbagai kesalahan dan keburukan, maka kemudian kita melakukan tobat, untuk membuang sifat-sifat tercela tersebut dan tidak mengulanginya. Karena Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun seperti pada Al-Qur’an Surat Huud ayat 3, Allah berfirman yang artinya : “Mintalah ampun kepada Tuhanmu dan kembali bertaubatlah kepadanya”. Dalam Surat Ali-Imran ayat 135 : “Dan orang yang apabila telah berbuat kejelekan atau menganiaya diri mereka sendiri, maka mereka ingat kepada Allah dan mereka memohon ampun atas dosa-dosanya.” Dalam Hadits Riwayat Muslim Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan gundah dalam hatiku, maka aku membaca istighfar dalam sehari seratus kali.” Dalam riwayat lain, diberitahukan bahwa Rasulullah  beristighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari lebih dari 70 kali. Itulah contoh teladan Rasulullah walaupun beliau terpelihara dari dosa (maksum) dan kesalahan, tetapi tetap beliau mohon ampun dan beristighfar.

4.    Do’a Mohon Perlindungan
Manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga kadang tidak mampu mengalahkan nafsu yang menguasainya dan mengotori hatinya. Untuk itu penting  selalu bersandar kepada kekuatan Allah guna mengalahkan berbagai penyakit hati dan tipu daya setan laknatullah. Allah berfirman : “Dan jika engkau diganggu oleh suatu gangguan dari syetan, maka mohon perlindunganlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Tahu.” (Q.S. Fushilat : 36). Sementara itu Nabi saw menganjurkan suatu do’a: “Ya Allah, jauhkanlah aku daripada akhlak yang buruk, kemauan-kemauan yang buruk dan penyakit-penyakit hati. (H.R. Tirmidzi)

5.    Pengisian Sifat-sifat Terpuji
Setelah didesak keluar sifat-sifat buruk, dan penyakit-penyakit hati dalam diri kita, maka serentak diisi pula diri kita dengan sifat-sifat yang baik. Pengisiian sifat-sifat terpuji ini bisa mengacu pada sifat-sifat Allah Asmaul Husna.Seperti Maha Pengasih, Penyayang, Penolong, Pemelihara, Maha Adil, Kaya, Gagah, dan seterusnya. Dengan mengisi sifat-sifat terpuji dalam diri kita, maka secara otomatis sifat buruk akan tersingkir, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya sifat rendah hati mendesak keluar sifat sombong, sifat pemurah mengalahkan sifat bakhil,  sifat tawakal melawan sifat kecemasan, dan sebagainya. Allah berfirman: “Tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, tolaklah keburukan itu dengan cara yang lebih baik…” (Q.S. Fushilat : 34).

6.    Pemeliharaan
Sesudah tertanam sifat-sifat yang baik dalam diri kita dan mengeluarkan sifat-sifat yang buruk, maka hal tersebut harus dijaga , dipelihara, dan diperkuat. Sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi hawa nafsu dan syetan untuk menyeret kita kembali kepada sifat-sifat keburukan. Untuk itu selalu  mendekatkan diri kepada Allah dengan zikir, shalat, puasa dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Selain itu juga, selalu menyirami hatinya dengan nasihat taqwa, berbagai aktivitas sosial,  bergaul dengan orang shaleh, serta membaca dan memahami al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri merupakan obat bagi hati orang-orang yang beriman. “Hai manusia telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan penawar dari penyakit yang ada padamu dan telah datang pimpinan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Yunus : 57). Dalam Surat Al-Israa’ : 82, Allah menyatakan:”Kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan rakhmat bagi orang-orang yang beriman.”
            Sementara itu menurut Robert Frager, para sufi memiliki praktek amalan dasar, sebagai berikut 13:
1. Puasa
Puasa menahan diri dari segala macam makanan, minuman, dan aktivitas seksual dari shubuh hingga magrib. Bangunlah satu jam sebelum shubuh untuk makan sahur. Seusai bersantap sahur  setidaknya 15 menit sebelum shubuh, gosoklah gigi anda dan berniatlah puasa pada hari ini dengan semata-semata karena Allah. Puasa berfungsi untuk melemahkan nafs, karena berbagai keinginan nafsu untuk minum, makan, dan hal-hal lain yang menyenangkan, kita tahan. Padahal pada saat tidak berpuasa, semua itu dengan mudah kita turuti.

2. Khalwat
            Bagian penting dari khalwat adalah mengheningkan suasana dan berdiam diri dalam ruangan. Bersikap tenanglah dan biarkan pikiran anda terpusat pada Tuhan, dan bukannya terganggu oleh pandangan-pandangan dan suara-suara dari dunia ini.

3. Shalat
            Shalat merupakan sarana bagi kita untuk berhadapan langsung dengan zat yang Maha Agung,  Allah SWT. Untuk menghadapi pertemuan tersebut,  kita harus mempersiapkan diri dengan bersuci dan berpakaian sebaik mungkin, seperti halnya kita mau ketemu Raja. Shalat banyak sekali jenisnya, ada shalat fardhu lima kali sehari dan shalat sunat rawatib, tahajud, dan sebagainya. Laksanakanlah semua jenis shalat tersebut dengan khusu, seolah-olah ini adalah  shalat terakhir kita.

4. Zikir
Salah satu pengobatan hati  adalah mengulang-ulang kalimat Lailaha illa Allah. Hati anda adalah kuil yang dibangun untuk menampung kehadiran Tuhan di dalam diri kita. Sayangnya, sebagaian besar dari kita telah mengabaikan kuil ini dan bahkan menempatkan berhala beragam ambisi duniawi di dalamnya. Berdzikir adalah untuk menyingkap pengetahuan, kekuatan, dan keindahan percikan Tuhan di dalam diri kita. Salah satu praktik zikir klasik mencakup pengulangan kalimat tauhid, La illaha illa Allah. Kalimat ini bermakna secara literal bermakan “Tiada sesuatupun yang berhak disembah selain Allah”. Pemujaan terhadap uang, ketenaran, kekuasaan, seks, dan seterusny, sungguh merupakan pemujaan terhadap berhala. Artinya, kita telah, meyalahpahami aspek terbatas dari ciptaan Tuhan sebagai Tuhan. Seluruh makanan kita, seluruh benda yang kita miliki, seluruh kekuatan untuk bertindak-datang dari Tuhan dan bukan dari dunia. Diriwayatkan bahwa jika anda mengucapkan kalimat ini, sekalipun satu kali, dengan tulus dan sungguh-sungguh, seluruh dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan anda yang lampau diampuni. Dan anda seutuhnya disucikan secara spiritual.
Latihan dasar zikir lainnya adalah  mengulang-ulang salah satu- atau lebih- 99 nama Allah, atau sifat-sifat-Nya. Untuk memahami nama-nama tersebut, tidaklah cukup mengulang-ulang ataupun menghapalkannya. Kita dapat terhubung dengan tuhan dengan menemukan dan memelihara sifa-sifat Tuhan di dalam diri kita. Kita juga harus menyadari bahwa segala sifat Tuhan yang terdapat di dalam diri kita hanyalah percikan kecil dari sifat-sifat-Nya. Kita kerap merasa dekat dengan Tuhan saat kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan-Nya. Kala kita merasa tersesat, kita memohon kepada Al-Hadi, tuhan maha pembimbing.saat kita dalam kondisi tidak sabar, kita memohon kepada  al-shabur, Tuhan Maha sabar, sumber dari segala kesabaran. Saat melihat susunan nama tersebut, anda juga akan melihat sejumlah nama yang berpasangan, seperti Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian, penderitaan dan kesenangan.

5. Merenungkan Kematian  
Bayangkanlah kawan-kawan anda yang telah meninggal dunia. Mereka berusia sama dengan anda, atau bahkan lebih muda, ketika mereka meninggalkan dunia ini. Ingatlah penghargaan yang mereka terima, ketenaran yang mereka raih, posisi tinggi yang mereka capai, dan harta kekayaan yang mereka nikmati. Apa yang tertinggal dari semua itu?. Bayangkan, bagaimana mereka meninggalkan janda dan anak yatim. Bayangkan tubuh mereka yang dahulu kuat dan aktif, saat ini terbaring di lubang yang gelap di bawah permukaan tanah. Terakhir, kawan-kawan anda dengan bodoh  berusaha untuk mempersiapkan kehidupan selama dua puluh tahun, ketika kehidupan mereka tinggal kurang dari sehari. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa kematian akan menghampiri mereka, pada jam yang tidak disangka-sangka. Jangan pernah menggantungkan harapan anda pada kekayaan, kekuatan, maupun pengetahuan. Pandanglah kematian sebagai suatu yang pasti, suatu bagian dari kehidupan seperti halnya kelahiran.




CATATAN AKHIR


1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 301.

2. Disarikan dari Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, Theological Publishing House, Wheaton, USA, 1999. h. 23. Buku ini juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi, Jakarta, 2002.

3 Ibid.

4. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam, Jakarta, 1999, h. 14.

5. Ir. Agus Nggermanto,  Kecerdasan Quantum, Penerbit Nuansa, Bandung, 2003. h.13.

6 Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta, 1979. h. 26-27.

7 Disarikan dari Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, op cit., h. 21-24.

8 Ibid., h.37-41.

9  Ibid., h. 4 – 10.

10.  Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual : Menuju Insan Kamil,  Pustaka  Nuun, Semarang, 2004. h. 13.

11. Ibid. h. 14-16.

12. Disarikan dari Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin,  Pustaka Atisa, Jakarta, h.149-160.

13. Robert Frager, op cit., h. 170-185.




DAFTAR PUSTAKA



Agus Nggermanto,  Kecerdasan Quantum, Penerbit Nuansa, Bandung, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin,  Pustaka Atisa, Jakarta, 1992.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam, Jakarta, 1999.

Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual : Menuju Insan Kamil,  Pustaka  Nuun, Semarang, 2004.

Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, Theological Publishing House, Wheaton, USA, 1999.

Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi : Hati, Diri, dan Jiwa, Serambi, Jakarta, 2002.

Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.