Senin, 14 Juli 2014

Artikel Ramadhan (1)


MEMBENINGKAN HATI MENGGAPAI CAHAYA ILAHI


Oleh :

Dr. Agus Nugraha, MA

Pengantar

Drama kehidupan manusia penuh  warna warni dengan hawa nafsu yang terus menguasai.  Dunia politik mempertontonkan nafsu kekuasaan, yang siap menyikut dan melibas siapa saja yang menghalangi ambisi. Ekonomi kapitalis mampu menunjukkan kedigjayaannya dalam menumpuk harta, guna memuaskan keserakahan duniawi. Birokrasi terus sibuk melaksanakan amalan korupsi, kolusi dan nepotisme untuk memenuhi hajat hidup pribadi. Para penegak hukum masih juga berani mempermaikan keadilan, demi sebungkus nasi dan sebuah mersi. Sementara itu itu rakyat semakin frustasi dengan himpitan ekonomi, yang membuatnya bertindak penuh emosi tanpa kendali.
Dominasi hawa nafsu yang menyeret manusia pada kerusakan dan kebinasaan, selalu menghiasi liputan-liputan media masa. Pertikaian politik di berbagai kawasan terus berlangsung silih berganti, praktek korupsi milyaran dan trilyunan masih terus terjadi, kebodohan dan kemiskinan masih belum juga bisa diatasi, serta pembunuhan, perampokan dan pemerkosan berjalan terus tiada henti.
            Saatnyalah kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan menghampiri dalam naungan cahaya ilahi sebagai sumber kebenaran sejati. Untuk itu marilah kita semua kembali kepada kebeningan hati.

Kenapa Hati ?

Hati memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Secara jasadiyah, hati yang merupakan segumpal daging yang terletak dalam rongga dada,  berfungsi mengambil sari-sari makanan didalam darah dan menghasilkan empedu. Sedangkan secara batiniah, hati berfungsi sebagai tempat segala  kesadaran batin serta tempat menyimpan pengertian dan perasaan1.
Jika hati jasmaniah terluka, maka kita menjadi sakit. Jika ia mengalami kerusakan berat, maka kita pun meninggalkan dunia yang fana ini. Begitu pula, jika hati batiniah kita terjangkiti sifat-sifat buruk dari nafs ( hawa nafsu), maka kita akan sakit secara spiritual. Jika hati tersebut secara keseluruhan didominasi oleh nafs, maka kehidupan spiritual kita pun akan mati.2
Sakit atau bahkan matinya hati batiniah, ternyata jauh lebih berbahaya dibanding sakit atau matinya hati badaniah. Karena jika hati badaniah yang sakit, yang dirugikan hanyalah diri sendiri dan pihak-piahk lain yang terkat. Sementara sakit dan matinya hati batiniah dapat merusak kesehatan jasmaniah dan merugikan banyak orang atas tindakannya yang keliru, kebencian yang berujung dengan pembunuhan, keserakahan, kekejaman dan sebagainya. Apalagi jika yang sakit hati itu para pemimpin yang membawahi banyak bawahan dan memerintah jutaan umat manusia.
Sementara itu, hati batiniah yang bening dapat memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya kebenaran, serta menyucikan kepribadian dari sifat-sifat buruk manusia3. Sehingga lahirlah pribadi manusia sempurna (insan kamil) yang memiliki semangat juang yang tinggi, tajam daya fikirnya, sensitif perasaannya, istiqamah dalam kebenaran, berfikir positif, adil, jujur dan sejumlah sifat-sifat terpuji lainnya.
Vitalnya fungsi hati dalam menentukan merah birunya kehidupan manusia, secara tegas dinyatakan Rasulullah SAW : “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya didalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati” (H.R. Bukhari – Muslim)4.
Hadist tersebut mengibaratkan hati sebagai panglima yang mengendalikan pasukan, dan memberikan instruksi pada para prajuritnya. Artinya hati adalah raja bagi organ tubuh manusia, dimana organ tubuh adalah pelaksana apa saja yang diinginkan hati. Sehingga baik buruknya prilaku manusia, atau sukses tidaknya sesorang dalam suatu pencapaian tujuan,  akan bergantung pada kondisi hatinya.
Secara empiris pentingnya hati dalam kegiatan usaha manusia dikemukakan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD, konsultan manajemen senior menyatakan bahwa “pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan adalah mereka yang  memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas, selalu mengupayakan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain. Para pemimpin yang sukses lebih mengamalkan nilai-nilai ruhaniyah ketimbang orang lain”. Jadi pemimpin yang berhasil memajukan perusahaannya adalah pemimpin yang memimpin dengan hatinya. Kesimpulan tersebut diambil setelah mengadakan  penelitan dari 800-an manjer perusahan yang mereka tanganni selama 25 tahun  Begitu pula Bob Galvin bercerita tentang ayahnya pendiri Motorola, “Suatu ketika ayah melihat pada sebarisan karyawan perempuan dan berfikir mereka seperti ibu saya sendiri-mereka memiliki anak-anak,  rumah yang harus dijaga, dan orang-orang yang membutuhkan mereka. Hal ini memotivasinya untuk bekerja keras agar bisa memberi mereka sebuah kehidupan  yang lebih baik karena ia melihat ibunya dalam diri seluruh karyawan perempuan itu” 5.
Dalam memimpin negara, Abu Bakr Ash-Shiddiq suksesor Rasulullah sebagai pemimpin umat, yang dipilih secara aklamasi oleh kaum muslimin, menyampaikan pidato pertamanya, setelah  diangkat sebagai khalifah: “ Saudara-saudara, Saya terpilih, meski saya bukanlah yang terbaik diantaramu. Bantulah saya jika saya berada di jalan yang benar, dan perbaiki jika saya berada di jalan yang salah. Kebenaran adalah kepercayaan; kesalahan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah diantaramu akan menjadi terkuat dihadapanku, sampai aku menunaikan hak-haknya. Sedangkan orang yang kuat diantaramu, aku anggap terlemah, sampai aku dapat mengambil hak si lemah dari tangannya. Patuhilah aku selama aku taat pada  Allah dan Rasulnya”6. Ungkapan Abu Bakar tersebut merupakan salah satu contoh dari ungkapan seorang negarawan yang memimpin dengan hati. 
Dari uraian diatas nampak jelas, baik secara normatif maupun empirik, hati memiliki peranan yang sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Karena kata hati merupakan kata yang suci dan Ilahi, yang dapat membimbing manusia pada kebenaran yang sejati.

Hakikat Batiniah Hati7

Dalam ma’na batiniah, hati  pada hakekatnya merupakan  sumber cahaya, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. Seorang guru sufi menuturkan, “jika kata-kata berasal dari hati, ia kan masuk kedalam hati, tetapi jika keluar dari lisan , maka ia hanya sekedar melewati pendengaran”.
Kita dapat membuka mata dan telinga hati untuk merasakan lebih dalam realitas-realitas batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang kompleks. Seorang guru sufi bertutur: “Hati memiliki mata yang digunakan untuk menikmati pemandangan alam ghaib, telinga untuk mendengar perkataan penghuni alam ghaib dan firman Tuhan, hidung untuk mencium wewangian yang ghaib dan mulut untuk merasakan cinta, manisnya keimanan, serta harumnya pengetahuan spiritual.
Hati adalah sebuah rumah yang ditempatkan Tuhan di dalam diri manusia, sebuah tempat untuk menampung percikan Illahi di dalam diri kita. Dalam sebuah hadits terkenal Allah berkata:”Aku yang tak cukup ditampung oleh langit dan bumi melainkan tertampung di dalam hati seorang beriman yang tulus”. Kuil didalam diri kita lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka jika kita melukai hati manusia, dosanya lebih besar daripada merusak tempat-tempat suci di dunia ini.
Untuk itu, haruslah menyadari bahwa hati setiap orang yang kita temui adalah kuil Tuhan. Banyak hati yang telah terlukai, dan kita dapat melayani ciptaan Allah tersebut dengan berusaha menyembuhkan hati-hati yang terluka. Sebagaimana dituturkan seorang guru sufi Anshori: “Semakin kita mencinta, semakin kita membuka hati kita”. Tindakan tanpa disertai cinta dan niat hati yang tulus, sama sekali tidak bermakna.
Banyak diantara kita membiarkan  pemujaan terhadap berhala-berhala dunia seperti kenikmatan duniawi yang sementara, ketenaran,uang, dan kekuasaan, memasuki hati kita. Oleh karena itu salah satu amalan penting adalah mengulang-ulang kata “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan selain Allah). Kedisiplinan untuk mengulang-ulang kata tersebut adalah untuk membersihkan hati agar benar-benar menjadi kuil yang pantas bagi kehadiran Illahi.

Hati sebagai Cahaya Ilahi8

Pemahaman spiritual adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan kepada hati kita. Ia laksana lampu yang membantu kita untuk dapat melihat. Cahaya Ilahiyah tersebut meliputi cahaya amaliah, cahaya iman, cahaya makrifat, cahaya kesatuan, dan cahaya keunikan.
Tiap-tiap cahaya hati tersebut bagaikan sebuah gunung. Cahaya amaliah di dalam dada sangatlah kuat dan mantap, sehingga tidak satupun di dunia ini yang dapat menghancurkannya selama Tuhan masih memeliharanya. Puncak gunung ini adalah berjuang melawan siat-sifat buruk dan melakukan perbuatan baik. Di atasnya bertengger seekor burung, yakni nafs tirani, nafs yang berada pada tingkat terendah. Burung tersebut terbang di lembah penyembahan terhadap tuhan-tuhan palsu, kekafiran, keraguan, kemunafikan dan sejenisnya. Nabi Muhammmad berkata, “Di dalam hati manusia terdapat banyak lembah dan jurang, dan dalam masing-masingnya terdapat tebing yang curam”. Kita tidak boleh membiarkan diri kita jatuh ke dalam jurang keraguan dan kemunafikan.
Gunung cahaya iman terletak di dalam hati, dan di atasnya terdapat burung nafs yang terilhami. Ia terbang ke dalam lembah kelemahan dan kejahatan. Gunung ini lebih tinggi dan lebih kokoh dari gunung cahaya amaliah. Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang yang beriman: “Keimanan di dalam dada bagaikan pegunungan yang kokoh.”
Walaupun nafs adalah bagian integral dari keseluruhan tindakan kita, termasuk do’a kita dan praktik keagamaan lainnya, ia tidak memiliki peran dalam pengetahuan batiniah kita. Puncak gunung ini adalah keyakinan terhadap Tuhan, serta penglihatan dan pemerolehan melalui cahaya iman yang tidak terlihat oleh mata.
Di atas gunung cahaya makrifat, dalam hati yang lebih dalam terdapat burung nafs penyesalan. Ia kadang terbang ke lembah kegembiraan, kebanggaan, dan kenikmatan dalam rakhmat Tuhan. Pada saat yang lain ia terbang ke lembah kebutuhan, kerendahan, mencemooh diri sendiri, kepapaan, dan kemiskinan. Ia mencakup sikap menyalahkan diri sendiri dan penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan.
Cahaya hati digambarkan dalam salah satu ayat al-Qur’an dalam Surat An-Nuur ayat 35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang yang gemerlapan seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, pohon  zaitun yang tumbuh tidak disebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat  perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Kebeningan Hati Memancarkan Cahaya Ilahi9

Seseorang yang memiliki hati yang bening, menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupannya. Karunia Tuhan berupa kenikmatan atau ujian, sama-sama memiliki makna spiritual yang tinggi. Karunia Tuhan adalah manifestasi kasih sayang-Nya kepada manusia. Ujian-Nya adalah wahana pendewasaan spiritual manusia. Dengan kata lain, kebeningan hati mampu mentransformasikan kesulitan menjadi medan penyempurnaan dan pendidikan spiritual yang bermakna. Semakin banyak kesulitan semakin mematangkan spiritualnya, sehingga memicu seseorang untuk maju, ketika yang lainnya mundur.
Begitu pula, alam semesta yang diciptakan menurut kehendak  Allah,  selalu memancarkan kehadiran-Nya. Al-Qur’an menyatakan:”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah selalu ada nampak ( 2 : 115 ). Ayat Al-Qur’an tersebut memiliki makna yang teramat istimewa dan dalam. Wajah Allah selalu hadir dimanapun kita berada, walaupun kadang kita tidak menyadarinya. Rumi dengan sangat cantik mengilustrasikan bagaimana dunia ini terisi penuh dengan kehadiran Allah.
Alam semesta menjadi  tempat untuk mencari kebesaran Allah. Dalam hadits yang sangat populer, Rasullullah bersabda Allah berfirman “Aku telah menjadi harta yang tersembunyi, Aku rindu untuk diketahui, untuk itu Aku membuat ciptaan dan alam semesta.” Pada satu sisi, hadits tersebut memberi makna bahwa alam semesta merupakan cermin dari sifat ketuhanan, Allah sepenuhnya hadir pada setiap orang dan setiap hal. Tetapi untuk menemukan Allah, kita mesti melihat hakekat bumi ini, untuk menelaah apa yang di dalam dan apa di luarnya. Pada sisi lain, ini berarti bahwa manusia diciptakan supaya mencari harta yang tersembunyi yakni Allah. Alam semesta merupakan suatu kosmik yang tersembunyi dan permainan yang mesti ditemukan. Maksudnya, alasan kita diciptakan adalah untuk menemukan Allah, dan manusia paling terbesar (mulia) adalah manusia yang dapat menemukan Allah. Sufi Turki, Yunus Emre menulis, “Kebenaran Tuhan laksana samudra luas, para hamba-Nya mesti mencebur ke lautan untuk menyelam guna mendapatkan emas permata”.
Selama ini orang berasumsi bahwa manusia tidak lebih dari sekedar fisik tubuhnya dan akal pikiran dikembangkan dari susunan syaraf fisiknya tersebut. Padahal hal yang teramat  penting dalam kehidupan ini adalah nilai spiritulal dari hati manusia. Yang menjadi tempat intuisi dari dalam pemahaman dan kearifan kita dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai ketuhanan. Kapanpun kita menggali  manusia secara mendalam, maka kita akan menemukan nilai-nilai  ketuhanan yang tiada terhingga.  Ini penting untuk mengetahui dari mana kita berasal dan kemana akan terus berlangsuing hidup setelah kita mati.
Misi kita adalah untuk menemukan nilai-nilai ketuhanan dalam diri kita dan untuk belajar hidup dalam bimbingan hati naluri ketuhanan kita yang alamiah. Bimbingan dari dalam,  berasal dari nilai-nilai spiritual  hati yang wujud dalam kehidupan manusia. Setiap saat kita dibimbing Allah melalui hati kita dan bukan oleh prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan yang datang dari luar diri manusia.

Proses Pembeningan Hati

Hati memiliki satu wajah yang menghadap ke dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia nafs dengan sifat-sifat buruknya. Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran dan tindakan. Setiap kata dan tindakan yang baik memperlembut atau membeningkan hati, dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras atau mengotori hati. 
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengumpamakan hati manusia seperti cermin (al-mir’ah)10. Cermin yang mengkilat bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda dan dosa yang diperbuat manusia. Satu kali kita berbuat dosa maka satu noda hitam dalam hati, jika perbuatan dosa tersebut terus menerus dilakukan, maka hati kita menjadi hitam pekat.  Maka jika seseorang selalu menjaga kebersihan jiwanya, titik-titik noda itu akan hilang, sehingga hati tersebut akan kembali bersinar menerima pantulan dan pancaran nur Ilahi.
 Manusia perlu menyadari bahwa kehidupan ini selalu terjadi kompetisi antara dirinya dengan nafsu yang ingin menguasainya. Sehingga manusia tidak mampu menangkap sinyal spiritual. Ketidakmampuan manusia menangkap cahaya ilahiyah, pada dasarnya disebabkan tiga hal11:
1.    Cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi seterang apapun tidak dapat ditangkap oleh hati yang dimilikinya.
2.    Diantara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Dalam hal ini  yakni orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya.
3.    Cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya, sehingga tidak tersentuh cahaya petunjuk ilahi. Misalnya orang-orang yang kafir yang sengaja dan sadar mengingkari Tuhan.

Untuk itu pembersihan hati mutlak diperlukan, yang secara umum melalui tiga jenjang : pengosongan
sifat-sifat tercela (takhalli), pengisian dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan  pencapaian kejernihan hati,
berada dalam satu garis dengan Allah (tajalli).
Banyak sekali motode yang dikembangkan untuk membersihkan hati, terutama pengalaman-pengalaman para sufi. Semuanya baik dan sudah teruji bagi yang telah mengalaminya. Namun demikian kita bisa memilih yang dirasa cocok dan sesuai dengan keadaan diri kita. Secara umum proses pembeningan hati meliputi tahapan sebagai berikut 12:

1.    Kesadaran diri
 Untuk membersihkan penyakit hati, sebagai langkah pertama harus ada kesadaran diri tentang penyakit hati yang ada pada dirinya  dengan berbagai dampak negatifnya. Tanpa kesadaran dari diri sendiri, sulit diharapkan adanya perbaikan diri. Karena kadang orang  tidak menyadari bahwa hatinya dihinggapi berbagai penyakit yang harus disembuhkan. Kesadaran biasanya timbul karena adanya cubitan dari Yang Maha Kuasa melalui beragam peristiwa. Seperti meninggalnya orang-orang terdekat, penyakit yang sulit disembuhkan,  berbagai kesulitan hidup yang dihadapi, dan sebagainya. Bagi orang yang bertaqwa, kesadaran diri tumbuh dalam setiap kesempatan termasuk pada saat mendapat godaan syetan untuk melakukan perbuatan dosa. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, apabila mereka mendapat gangguan syetan, mereka teringat lalu mereka menyadarinya.” (Q.S. Al-A’raaf : 201)
Setelah kita mengetahui penyakit hati kita, maka dengan penuh kesadaran kita membuang jauh-jauh penyakit tersebut karena   banyak  menimbulkan efek negatif dalam kehidupan kita, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

2.    Evaluasi diri (Muhasabah)
Seperti halnya pengobatan penyakit jasmani, pada tahap awal dilakukan diagnosa atau pemeriksaan untuk memastikan jenis penyakitnya. Begitu pula penyembuhan penyakit hati, perlu dilakukan diagnosa untuk meneliti jenis penyakitnya. Untuk mengenali penyakit hati, maka dilakukan  muhasabah diri dengan ngevaluasi perjalanan hidup serta sifat-sifat buruk yang kita lakukan selama ini. Untuk melengkapi potret diri, juga bisa meminta bantuan orang-orang  terdekat  seperti keluarga, kawan, guru dan sebagainya, untuk memberi penilaian secara jujur tentang diri kita termasuk sifat-sifat tercelanya.
Koreksi diri merupakan langkah awal yang baik dalam pembasmian penyakit-penyakit hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang pandai adalah orang yang mengoreksi dirinya, dan menyiapkan  amal shalih sebagai bekal untuk mati. Sementara orang lemah adalah oarang yang selalu menurutkan keinginannya dan mengharapkan berbagai angan-angannya”. (H.R Tirmidzi). Selain itu dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegor dirinya sendiri”. (Q.S. Al-Qiyaamah :2)

3.    Tobat dan Istighfar
Setelah mendiagnosa  penyakit hati dan kita menyadari akan berbagai kesalahan dan keburukan, maka kemudian kita melakukan tobat, untuk membuang sifat-sifat tercela tersebut dan tidak mengulanginya. Karena Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun seperti pada Al-Qur’an Surat Huud ayat 3, Allah berfirman yang artinya : “Mintalah ampun kepada Tuhanmu dan kembali bertaubatlah kepadanya”. Dalam Surat Ali-Imran ayat 135 : “Dan orang yang apabila telah berbuat kejelekan atau menganiaya diri mereka sendiri, maka mereka ingat kepada Allah dan mereka memohon ampun atas dosa-dosanya.” Dalam Hadits Riwayat Muslim Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan gundah dalam hatiku, maka aku membaca istighfar dalam sehari seratus kali.” Dalam riwayat lain, diberitahukan bahwa Rasulullah  beristighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari lebih dari 70 kali. Itulah contoh teladan Rasulullah walaupun beliau terpelihara dari dosa (maksum) dan kesalahan, tetapi tetap beliau mohon ampun dan beristighfar.

4.    Do’a Mohon Perlindungan
Manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga kadang tidak mampu mengalahkan nafsu yang menguasainya dan mengotori hatinya. Untuk itu penting  selalu bersandar kepada kekuatan Allah guna mengalahkan berbagai penyakit hati dan tipu daya setan laknatullah. Allah berfirman : “Dan jika engkau diganggu oleh suatu gangguan dari syetan, maka mohon perlindunganlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Tahu.” (Q.S. Fushilat : 36). Sementara itu Nabi saw menganjurkan suatu do’a: “Ya Allah, jauhkanlah aku daripada akhlak yang buruk, kemauan-kemauan yang buruk dan penyakit-penyakit hati. (H.R. Tirmidzi)

5.    Pengisian Sifat-sifat Terpuji
Setelah didesak keluar sifat-sifat buruk, dan penyakit-penyakit hati dalam diri kita, maka serentak diisi pula diri kita dengan sifat-sifat yang baik. Pengisiian sifat-sifat terpuji ini bisa mengacu pada sifat-sifat Allah Asmaul Husna.Seperti Maha Pengasih, Penyayang, Penolong, Pemelihara, Maha Adil, Kaya, Gagah, dan seterusnya. Dengan mengisi sifat-sifat terpuji dalam diri kita, maka secara otomatis sifat buruk akan tersingkir, dan begitu pula sebaliknya. Misalnya sifat rendah hati mendesak keluar sifat sombong, sifat pemurah mengalahkan sifat bakhil,  sifat tawakal melawan sifat kecemasan, dan sebagainya. Allah berfirman: “Tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan, tolaklah keburukan itu dengan cara yang lebih baik…” (Q.S. Fushilat : 34).

6.    Pemeliharaan
Sesudah tertanam sifat-sifat yang baik dalam diri kita dan mengeluarkan sifat-sifat yang buruk, maka hal tersebut harus dijaga , dipelihara, dan diperkuat. Sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi hawa nafsu dan syetan untuk menyeret kita kembali kepada sifat-sifat keburukan. Untuk itu selalu  mendekatkan diri kepada Allah dengan zikir, shalat, puasa dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Selain itu juga, selalu menyirami hatinya dengan nasihat taqwa, berbagai aktivitas sosial,  bergaul dengan orang shaleh, serta membaca dan memahami al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri merupakan obat bagi hati orang-orang yang beriman. “Hai manusia telah datang kepadamu nasihat dari Tuhanmu dan penawar dari penyakit yang ada padamu dan telah datang pimpinan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Yunus : 57). Dalam Surat Al-Israa’ : 82, Allah menyatakan:”Kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan rakhmat bagi orang-orang yang beriman.”
            Sementara itu menurut Robert Frager, para sufi memiliki praktek amalan dasar, sebagai berikut 13:
1. Puasa
Puasa menahan diri dari segala macam makanan, minuman, dan aktivitas seksual dari shubuh hingga magrib. Bangunlah satu jam sebelum shubuh untuk makan sahur. Seusai bersantap sahur  setidaknya 15 menit sebelum shubuh, gosoklah gigi anda dan berniatlah puasa pada hari ini dengan semata-semata karena Allah. Puasa berfungsi untuk melemahkan nafs, karena berbagai keinginan nafsu untuk minum, makan, dan hal-hal lain yang menyenangkan, kita tahan. Padahal pada saat tidak berpuasa, semua itu dengan mudah kita turuti.

2. Khalwat
            Bagian penting dari khalwat adalah mengheningkan suasana dan berdiam diri dalam ruangan. Bersikap tenanglah dan biarkan pikiran anda terpusat pada Tuhan, dan bukannya terganggu oleh pandangan-pandangan dan suara-suara dari dunia ini.

3. Shalat
            Shalat merupakan sarana bagi kita untuk berhadapan langsung dengan zat yang Maha Agung,  Allah SWT. Untuk menghadapi pertemuan tersebut,  kita harus mempersiapkan diri dengan bersuci dan berpakaian sebaik mungkin, seperti halnya kita mau ketemu Raja. Shalat banyak sekali jenisnya, ada shalat fardhu lima kali sehari dan shalat sunat rawatib, tahajud, dan sebagainya. Laksanakanlah semua jenis shalat tersebut dengan khusu, seolah-olah ini adalah  shalat terakhir kita.

4. Zikir
Salah satu pengobatan hati  adalah mengulang-ulang kalimat Lailaha illa Allah. Hati anda adalah kuil yang dibangun untuk menampung kehadiran Tuhan di dalam diri kita. Sayangnya, sebagaian besar dari kita telah mengabaikan kuil ini dan bahkan menempatkan berhala beragam ambisi duniawi di dalamnya. Berdzikir adalah untuk menyingkap pengetahuan, kekuatan, dan keindahan percikan Tuhan di dalam diri kita. Salah satu praktik zikir klasik mencakup pengulangan kalimat tauhid, La illaha illa Allah. Kalimat ini bermakna secara literal bermakan “Tiada sesuatupun yang berhak disembah selain Allah”. Pemujaan terhadap uang, ketenaran, kekuasaan, seks, dan seterusny, sungguh merupakan pemujaan terhadap berhala. Artinya, kita telah, meyalahpahami aspek terbatas dari ciptaan Tuhan sebagai Tuhan. Seluruh makanan kita, seluruh benda yang kita miliki, seluruh kekuatan untuk bertindak-datang dari Tuhan dan bukan dari dunia. Diriwayatkan bahwa jika anda mengucapkan kalimat ini, sekalipun satu kali, dengan tulus dan sungguh-sungguh, seluruh dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan anda yang lampau diampuni. Dan anda seutuhnya disucikan secara spiritual.
Latihan dasar zikir lainnya adalah  mengulang-ulang salah satu- atau lebih- 99 nama Allah, atau sifat-sifat-Nya. Untuk memahami nama-nama tersebut, tidaklah cukup mengulang-ulang ataupun menghapalkannya. Kita dapat terhubung dengan tuhan dengan menemukan dan memelihara sifa-sifat Tuhan di dalam diri kita. Kita juga harus menyadari bahwa segala sifat Tuhan yang terdapat di dalam diri kita hanyalah percikan kecil dari sifat-sifat-Nya. Kita kerap merasa dekat dengan Tuhan saat kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan-Nya. Kala kita merasa tersesat, kita memohon kepada Al-Hadi, tuhan maha pembimbing.saat kita dalam kondisi tidak sabar, kita memohon kepada  al-shabur, Tuhan Maha sabar, sumber dari segala kesabaran. Saat melihat susunan nama tersebut, anda juga akan melihat sejumlah nama yang berpasangan, seperti Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian, penderitaan dan kesenangan.

5. Merenungkan Kematian  
Bayangkanlah kawan-kawan anda yang telah meninggal dunia. Mereka berusia sama dengan anda, atau bahkan lebih muda, ketika mereka meninggalkan dunia ini. Ingatlah penghargaan yang mereka terima, ketenaran yang mereka raih, posisi tinggi yang mereka capai, dan harta kekayaan yang mereka nikmati. Apa yang tertinggal dari semua itu?. Bayangkan, bagaimana mereka meninggalkan janda dan anak yatim. Bayangkan tubuh mereka yang dahulu kuat dan aktif, saat ini terbaring di lubang yang gelap di bawah permukaan tanah. Terakhir, kawan-kawan anda dengan bodoh  berusaha untuk mempersiapkan kehidupan selama dua puluh tahun, ketika kehidupan mereka tinggal kurang dari sehari. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa kematian akan menghampiri mereka, pada jam yang tidak disangka-sangka. Jangan pernah menggantungkan harapan anda pada kekayaan, kekuatan, maupun pengetahuan. Pandanglah kematian sebagai suatu yang pasti, suatu bagian dari kehidupan seperti halnya kelahiran.




CATATAN AKHIR


1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 301.

2. Disarikan dari Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, Theological Publishing House, Wheaton, USA, 1999. h. 23. Buku ini juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi, Jakarta, 2002.

3 Ibid.

4. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam, Jakarta, 1999, h. 14.

5. Ir. Agus Nggermanto,  Kecerdasan Quantum, Penerbit Nuansa, Bandung, 2003. h.13.

6 Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta, 1979. h. 26-27.

7 Disarikan dari Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, op cit., h. 21-24.

8 Ibid., h.37-41.

9  Ibid., h. 4 – 10.

10.  Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual : Menuju Insan Kamil,  Pustaka  Nuun, Semarang, 2004. h. 13.

11. Ibid. h. 14-16.

12. Disarikan dari Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin,  Pustaka Atisa, Jakarta, h.149-160.

13. Robert Frager, op cit., h. 170-185.




DAFTAR PUSTAKA



Agus Nggermanto,  Kecerdasan Quantum, Penerbit Nuansa, Bandung, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin,  Pustaka Atisa, Jakarta, 1992.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam, Jakarta, 1999.

Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual : Menuju Insan Kamil,  Pustaka  Nuun, Semarang, 2004.

Robert Frager, Heart, Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, Theological Publishing House, Wheaton, USA, 1999.

Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi : Hati, Diri, dan Jiwa, Serambi, Jakarta, 2002.

Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar