Oleh
:
Dr. Agus Nugraha, MA
P e n g a n t a r
Drama kehidupan manusia penuh warna warni dengan hawa nafsu yang terus
menguasai. Dunia politik mempertontonkan
nafsu kekuasaan, yang siap menyikut dan melibas siapa saja yang menghalangi
ambisi. Ekonomi kapitalis mampu menunjukkan kedigjayaannya dalam menumpuk
harta, guna memuaskan keserakahan duniawi. Birokrasi terus sibuk melaksanakan
amalan korupsi, kolusi dan nepotisme untuk memenuhi hajat hidup pribadi. Para penegak
hukum masih juga berani mempermaikan keadilan, demi sebungkus nasi dan sebuah
mersi. Sementara itu itu rakyat semakin frustasi dengan himpitan ekonomi, yang
membuatnya bertindak penuh emosi tanpa kendali.
Dominasi hawa nafsu yang menyeret manusia pada kerusakan
dan kebinasaan, selalu menghiasi liputan-liputan media masa. Pertikaian politik
di berbagai kawasan terus berlangsung silih berganti, praktek korupsi milyaran
dan trilyunan masih terus terjadi, kebodohan dan kemiskinan masih belum juga
bisa diatasi, serta pembunuhan, perampokan dan pemerkosan berjalan terus tiada
henti.
Saatnyalah
kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan menghampiri dalam naungan cahaya
ilahi sebagai sumber kebenaran sejati. Untuk itu marilah kita semua
kembali kepada kebeningan hati.
Kenapa Hati ?
Hati memiliki fungsi yang sangat vital dalam
kehidupan manusia. Secara jasadiyah, hati yang merupakan segumpal daging yang
terletak dalam rongga dada, berfungsi
mengambil sari-sari makanan didalam darah dan menghasilkan empedu. Sedangkan
secara batiniah, hati berfungsi sebagai tempat segala kesadaran batin serta tempat menyimpan
pengertian dan perasaan1.
Jika hati jasmaniah terluka, maka kita menjadi sakit.
Jika ia mengalami kerusakan berat, maka kita pun meninggalkan dunia yang fana
ini. Begitu pula, jika hati batiniah kita terjangkiti sifat-sifat buruk dari nafs
( hawa nafsu), maka kita akan sakit secara spiritual. Jika hati tersebut
secara keseluruhan didominasi oleh nafs, maka kehidupan spiritual kita
pun akan mati.2
Sakit atau bahkan matinya hati batiniah, ternyata jauh
lebih berbahaya dibanding sakit atau matinya hati badaniah. Karena jika hati
badaniah yang sakit, yang dirugikan hanyalah diri sendiri dan pihak-piahk lain
yang terkat. Sementara sakit dan matinya hati batiniah dapat merusak kesehatan
jasmaniah dan merugikan banyak orang atas tindakannya yang keliru, kebencian
yang berujung dengan pembunuhan, keserakahan, kekejaman dan sebagainya. Apalagi
jika yang sakit hati itu para pemimpin yang membawahi banyak bawahan dan
memerintah jutaan umat manusia.
Sementara itu, hati batiniah yang bening
dapat memelihara jiwa dengan memancarkan kearifan dan cahaya kebenaran, serta
menyucikan kepribadian dari sifat-sifat buruk manusia3.
Sehingga lahirlah pribadi manusia sempurna (insan kamil) yang memiliki semangat
juang yang tinggi, tajam daya fikirnya, sensitif perasaannya, istiqamah dalam
kebenaran, berfikir positif, adil, jujur dan sejumlah sifat-sifat terpuji
lainnya.
Vitalnya fungsi hati dalam menentukan merah
birunya kehidupan manusia, secara tegas dinyatakan Rasulullah SAW :
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya didalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila
ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak, maka rusak pula
seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu adalah hati” (H.R. Bukhari – Muslim)4.
Hadist tersebut mengibaratkan hati sebagai panglima yang
mengendalikan pasukan, dan memberikan instruksi pada para prajuritnya. Artinya
hati adalah raja bagi organ tubuh manusia, dimana organ tubuh adalah pelaksana
apa saja yang diinginkan hati. Sehingga baik buruknya prilaku manusia, atau
sukses tidaknya sesorang dalam suatu pencapaian tujuan, akan bergantung pada kondisi hatinya.
Secara empiris pentingnya hati dalam kegiatan usaha
manusia dikemukakan oleh Gay Hendrick, PhD dan Kate Ludeman, PhD, konsultan
manajemen senior menyatakan bahwa “pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya
ke puncak kesuksesan adalah mereka yang
memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu
memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya
sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas, selalu mengupayakan yang terbaik
bagi dirinya dan orang lain. Para pemimpin yang sukses lebih mengamalkan
nilai-nilai ruhaniyah ketimbang orang lain”. Jadi pemimpin yang berhasil
memajukan perusahaannya adalah pemimpin yang memimpin dengan hatinya.
Kesimpulan tersebut diambil setelah mengadakan
penelitan dari 800-an manjer perusahan yang mereka tanganni selama 25
tahun Begitu pula Bob Galvin bercerita
tentang ayahnya pendiri Motorola, “Suatu ketika ayah melihat pada sebarisan
karyawan perempuan dan berfikir mereka seperti ibu saya sendiri-mereka memiliki
anak-anak, rumah yang harus dijaga, dan
orang-orang yang membutuhkan mereka. Hal ini memotivasinya untuk bekerja keras
agar bisa memberi mereka sebuah kehidupan
yang lebih baik karena ia melihat ibunya dalam diri seluruh karyawan
perempuan itu” 5.
Dalam memimpin negara, Abu Bakr Ash-Shiddiq
suksesor Rasulullah sebagai pemimpin umat, yang dipilih secara aklamasi oleh kaum
muslimin, menyampaikan pidato pertamanya, setelah diangkat
sebagai khalifah: “ Saudara-saudara, Saya terpilih, meski saya bukanlah yang
terbaik diantaramu. Bantulah saya jika saya berada di jalan yang benar, dan
perbaiki jika saya berada di jalan yang salah. Kebenaran adalah kepercayaan;
kesalahan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah diantaramu akan menjadi
terkuat dihadapanku, sampai aku menunaikan hak-haknya. Sedangkan orang yang
kuat diantaramu, aku anggap terlemah, sampai aku dapat mengambil hak si lemah
dari tangannya. Patuhilah aku selama aku taat pada Allah dan Rasulnya”6.
Ungkapan Abu Bakar tersebut merupakan salah satu contoh dari ungkapan seorang
negarawan yang memimpin dengan hati.
Dari uraian diatas nampak jelas, baik
secara normatif maupun empirik, hati memiliki peranan yang sangat menentukan
bagi kehidupan manusia. Karena kata hati merupakan kata yang suci dan Ilahi,
yang dapat membimbing manusia pada kebenaran yang sejati.
Hakikat Batiniah Hati7
Dalam ma’na batiniah, hati pada hakekatnya merupakan sumber cahaya, inspirasi, kreativitas, dan
belas kasih. Seorang guru sufi menuturkan, “jika kata-kata berasal dari hati,
ia kan masuk kedalam hati, tetapi jika keluar dari lisan , maka ia hanya
sekedar melewati pendengaran”.
Kita dapat membuka mata dan telinga hati untuk merasakan
lebih dalam realitas-realitas batiniah yang tersembunyi di balik dunia material
yang kompleks. Seorang guru sufi bertutur: “Hati memiliki mata yang digunakan
untuk menikmati pemandangan alam ghaib, telinga untuk mendengar perkataan
penghuni alam ghaib dan firman Tuhan, hidung untuk mencium wewangian yang ghaib
dan mulut untuk merasakan cinta, manisnya keimanan, serta harumnya pengetahuan
spiritual.
Hati adalah sebuah rumah yang ditempatkan Tuhan di dalam
diri manusia, sebuah tempat untuk menampung percikan Illahi di dalam diri kita.
Dalam sebuah hadits terkenal Allah berkata:”Aku yang tak cukup ditampung oleh
langit dan bumi melainkan tertampung di dalam hati seorang beriman yang tulus”.
Kuil didalam diri kita lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun di muka
bumi ini. Maka jika kita melukai hati manusia, dosanya lebih besar daripada
merusak tempat-tempat suci di dunia ini.
Untuk itu, haruslah menyadari bahwa hati setiap orang
yang kita temui adalah kuil Tuhan. Banyak hati yang telah terlukai, dan kita
dapat melayani ciptaan Allah tersebut dengan berusaha menyembuhkan hati-hati
yang terluka. Sebagaimana dituturkan seorang guru sufi Anshori: “Semakin kita
mencinta, semakin kita membuka hati kita”. Tindakan tanpa disertai cinta dan
niat hati yang tulus, sama sekali tidak bermakna.
Banyak diantara kita membiarkan pemujaan terhadap berhala-berhala dunia
seperti kenikmatan duniawi yang sementara, ketenaran,uang, dan kekuasaan,
memasuki hati kita. Oleh karena itu salah satu amalan penting adalah
mengulang-ulang kata “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan selain Allah).
Kedisiplinan untuk mengulang-ulang kata tersebut adalah untuk membersihkan hati
agar benar-benar menjadi kuil yang pantas bagi kehadiran Illahi.
Hati sebagai Cahaya Ilahi8
Pemahaman spiritual adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan
kepada hati kita. Ia laksana lampu yang membantu kita untuk dapat melihat.
Cahaya Ilahiyah tersebut meliputi cahaya amaliah, cahaya iman, cahaya makrifat,
cahaya kesatuan, dan cahaya keunikan.
Tiap-tiap cahaya hati tersebut bagaikan sebuah gunung.
Cahaya amaliah di dalam dada sangatlah kuat dan mantap, sehingga tidak satupun
di dunia ini yang dapat menghancurkannya selama Tuhan masih memeliharanya.
Puncak gunung ini adalah berjuang melawan siat-sifat buruk dan melakukan
perbuatan baik. Di atasnya bertengger seekor burung, yakni nafs tirani,
nafs yang berada pada tingkat terendah. Burung tersebut terbang di lembah
penyembahan terhadap tuhan-tuhan palsu, kekafiran, keraguan, kemunafikan dan
sejenisnya. Nabi Muhammmad berkata, “Di dalam hati manusia terdapat banyak
lembah dan jurang, dan dalam masing-masingnya terdapat tebing yang curam”. Kita
tidak boleh membiarkan diri kita jatuh ke dalam jurang keraguan dan
kemunafikan.
Gunung cahaya iman terletak di dalam hati, dan di
atasnya terdapat burung nafs yang terilhami. Ia terbang ke dalam lembah
kelemahan dan kejahatan. Gunung ini lebih tinggi dan lebih kokoh dari gunung
cahaya amaliah. Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang yang beriman:
“Keimanan di dalam dada bagaikan pegunungan yang kokoh.”
Walaupun nafs adalah bagian integral dari
keseluruhan tindakan kita, termasuk do’a kita dan praktik keagamaan lainnya, ia
tidak memiliki peran dalam pengetahuan batiniah kita. Puncak gunung ini adalah
keyakinan terhadap Tuhan, serta penglihatan dan pemerolehan melalui cahaya iman
yang tidak terlihat oleh mata.
Di atas gunung cahaya makrifat, dalam hati yang lebih
dalam terdapat burung nafs penyesalan. Ia kadang terbang ke lembah
kegembiraan, kebanggaan, dan kenikmatan dalam rakhmat Tuhan. Pada saat yang
lain ia terbang ke lembah kebutuhan, kerendahan, mencemooh diri sendiri,
kepapaan, dan kemiskinan. Ia mencakup sikap menyalahkan diri sendiri dan
penyesalan terhadap kesalahan-kesalahan.
Cahaya hati digambarkan dalam salah satu ayat al-Qur’an
dalam Surat An-Nuur ayat 35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang yang
gemerlapan seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya, pohon zaitun yang
tumbuh tidak disebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing
kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Kebeningan Hati Memancarkan Cahaya Ilahi9
Seseorang yang memiliki hati yang bening,
menemukan makna terdalam dari segala sisi kehidupannya. Karunia Tuhan berupa
kenikmatan atau ujian, sama-sama memiliki makna spiritual yang tinggi. Karunia
Tuhan adalah manifestasi kasih sayang-Nya kepada manusia. Ujian-Nya adalah wahana
pendewasaan spiritual manusia. Dengan kata lain, kebeningan hati mampu
mentransformasikan kesulitan menjadi medan penyempurnaan dan pendidikan
spiritual yang bermakna. Semakin banyak kesulitan semakin mematangkan
spiritualnya, sehingga memicu seseorang untuk maju, ketika yang lainnya mundur.
Begitu pula, alam semesta yang diciptakan menurut
kehendak Allah, selalu memancarkan kehadiran-Nya. Al-Qur’an
menyatakan:”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah selalu ada nampak ( 2 : 115 ). Ayat Al-Qur’an tersebut
memiliki makna yang teramat istimewa dan dalam. Wajah Allah selalu hadir
dimanapun kita berada, walaupun kadang kita tidak menyadarinya. Rumi dengan
sangat cantik mengilustrasikan bagaimana dunia ini terisi penuh dengan
kehadiran Allah.
Alam semesta menjadi
tempat untuk mencari kebesaran Allah. Dalam hadits yang sangat populer,
Rasullullah bersabda Allah berfirman “Aku telah menjadi harta yang tersembunyi,
Aku rindu untuk diketahui, untuk itu Aku membuat ciptaan dan alam semesta.”
Pada satu sisi, hadits tersebut memberi makna bahwa alam semesta merupakan
cermin dari sifat ketuhanan, Allah sepenuhnya hadir pada setiap orang dan
setiap hal. Tetapi untuk menemukan Allah, kita mesti melihat hakekat bumi ini,
untuk menelaah apa yang di dalam dan apa di luarnya. Pada sisi lain, ini
berarti bahwa manusia diciptakan supaya mencari harta yang tersembunyi yakni
Allah. Alam semesta merupakan suatu kosmik yang tersembunyi dan permainan yang
mesti ditemukan. Maksudnya, alasan kita diciptakan adalah untuk menemukan
Allah, dan manusia paling terbesar (mulia) adalah manusia yang dapat menemukan
Allah. Sufi Turki, Yunus Emre menulis, “Kebenaran Tuhan laksana samudra luas,
para hamba-Nya mesti mencebur ke lautan untuk menyelam guna mendapatkan emas
permata”.
Selama ini orang berasumsi bahwa manusia tidak lebih
dari sekedar fisik tubuhnya dan akal pikiran dikembangkan dari susunan syaraf
fisiknya tersebut. Padahal hal yang teramat
penting dalam kehidupan ini adalah nilai spiritulal dari hati manusia.
Yang menjadi tempat intuisi dari dalam pemahaman dan kearifan kita dan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai ketuhanan. Kapanpun kita menggali manusia secara mendalam, maka kita akan
menemukan nilai-nilai ketuhanan yang
tiada terhingga. Ini penting untuk
mengetahui dari mana kita berasal dan kemana akan terus berlangsuing hidup
setelah kita mati.
Misi kita adalah untuk menemukan nilai-nilai ketuhanan
dalam diri kita dan untuk belajar hidup dalam bimbingan hati naluri ketuhanan
kita yang alamiah. Bimbingan dari dalam,
berasal dari nilai-nilai spiritual
hati yang wujud dalam kehidupan manusia. Setiap saat kita dibimbing
Allah melalui hati kita dan bukan oleh prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan
yang datang dari luar diri manusia.
Proses Pembeningan Hati
Hati memiliki satu wajah yang menghadap ke
dunia spiritual, dan satu wajah lagi menghadap ke dunia nafs dengan
sifat-sifat buruknya. Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran dan
tindakan. Setiap kata dan tindakan yang baik memperlembut atau membeningkan
hati, dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras atau mengotori
hati.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya mengumpamakan
hati manusia seperti cermin (al-mir’ah)10.
Cermin yang mengkilat bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda dan
dosa yang diperbuat manusia. Satu kali kita berbuat dosa maka satu noda hitam
dalam hati, jika perbuatan dosa tersebut terus menerus dilakukan, maka hati
kita menjadi hitam pekat. Maka jika
seseorang selalu menjaga kebersihan jiwanya, titik-titik noda itu akan hilang,
sehingga hati tersebut akan kembali bersinar menerima pantulan dan pancaran nur
Ilahi.
Manusia perlu
menyadari bahwa kehidupan ini selalu terjadi kompetisi antara dirinya dengan
nafsu yang ingin menguasainya. Sehingga manusia tidak mampu menangkap sinyal
spiritual. Ketidakmampuan manusia menangkap cahaya ilahiyah, pada dasarnya
disebabkan tiga hal11:
1.
Cerminnya
terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi seterang apapun tidak dapat ditangkap oleh
hati yang dimilikinya.
2.
Diantara
cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya
Ilahi menerpa cermin tersebut. Dalam hal ini
yakni orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir
sebagai orientasi hidupnya.
3.
Cermin
tersebut memang membelakangi sumber cahaya, sehingga tidak tersentuh cahaya
petunjuk ilahi. Misalnya orang-orang yang kafir yang sengaja dan sadar
mengingkari Tuhan.
Untuk itu pembersihan hati mutlak
diperlukan, yang secara umum melalui tiga jenjang : pengosongan sifat-sifat
tercela (takhalli), pengisian dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan pencapaian kejernihan hati, berada dalam satu
garis dengan Allah (tajalli).
Banyak sekali motode yang dikembangkan untuk
membersihkan hati, terutama pengalaman-pengalaman para sufi. Semuanya baik dan
sudah teruji bagi yang telah mengalaminya. Namun demikian kita bisa memilih
yang dirasa cocok dan sesuai dengan keadaan diri kita. Secara umum proses
pembeningan hati meliputi tahapan sebagai berikut 12:
1.
Kesadaran
diri
Untuk membersihkan penyakit hati,
sebagai langkah pertama harus ada kesadaran diri tentang penyakit hati yang ada
pada dirinya dengan berbagai dampak
negatifnya. Tanpa kesadaran dari diri sendiri, sulit diharapkan adanya
perbaikan diri. Karena kadang orang
tidak menyadari bahwa hatinya dihinggapi berbagai penyakit yang harus
disembuhkan. Kesadaran biasanya timbul karena adanya cubitan dari Yang Maha
Kuasa melalui beragam peristiwa. Seperti meninggalnya orang-orang terdekat,
penyakit yang sulit disembuhkan,
berbagai kesulitan hidup yang dihadapi, dan sebagainya. Bagi orang yang
bertaqwa, kesadaran diri tumbuh dalam setiap kesempatan termasuk pada saat
mendapat godaan syetan untuk melakukan perbuatan dosa. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, apabila mereka mendapat gangguan
syetan, mereka teringat lalu mereka menyadarinya.” (Q.S. Al-A’raaf : 201)
Setelah kita mengetahui penyakit hati kita, maka dengan
penuh kesadaran kita membuang jauh-jauh penyakit tersebut karena banyak
menimbulkan efek negatif dalam kehidupan kita, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
2.
Evaluasi
diri (Muhasabah)
Seperti halnya pengobatan penyakit jasmani, pada tahap
awal dilakukan diagnosa atau pemeriksaan untuk memastikan jenis penyakitnya.
Begitu pula penyembuhan penyakit hati, perlu dilakukan diagnosa untuk meneliti
jenis penyakitnya. Untuk mengenali penyakit hati, maka dilakukan muhasabah diri dengan ngevaluasi perjalanan
hidup serta sifat-sifat buruk yang kita lakukan selama ini. Untuk melengkapi
potret diri, juga bisa meminta bantuan orang-orang terdekat
seperti keluarga, kawan, guru dan sebagainya, untuk memberi penilaian
secara jujur tentang diri kita termasuk sifat-sifat tercelanya.
Koreksi diri merupakan langkah awal yang baik dalam
pembasmian penyakit-penyakit hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang pandai
adalah orang yang mengoreksi dirinya, dan menyiapkan amal shalih sebagai bekal untuk mati.
Sementara orang lemah adalah oarang yang selalu menurutkan keinginannya dan
mengharapkan berbagai angan-angannya”. (H.R Tirmidzi). Selain itu dalam
Al-Qur’an Allah berfirman: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu menegor
dirinya sendiri”. (Q.S. Al-Qiyaamah :2)
3.
Tobat
dan Istighfar
Setelah mendiagnosa
penyakit hati dan kita menyadari akan berbagai kesalahan dan keburukan,
maka kemudian kita melakukan tobat, untuk membuang sifat-sifat tercela tersebut
dan tidak mengulanginya. Karena Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun
seperti pada Al-Qur’an Surat Huud ayat 3, Allah berfirman yang artinya :
“Mintalah ampun kepada Tuhanmu dan kembali bertaubatlah kepadanya”. Dalam Surat
Ali-Imran ayat 135 : “Dan orang yang apabila telah berbuat kejelekan atau
menganiaya diri mereka sendiri, maka mereka ingat kepada Allah dan mereka
memohon ampun atas dosa-dosanya.” Dalam Hadits Riwayat Muslim Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya adakalanya timbul perasaan gundah dalam hatiku, maka
aku membaca istighfar dalam sehari seratus kali.” Dalam riwayat lain,
diberitahukan bahwa Rasulullah
beristighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari lebih dari 70 kali.
Itulah contoh teladan Rasulullah walaupun beliau terpelihara dari dosa (maksum)
dan kesalahan, tetapi tetap beliau mohon ampun dan beristighfar.
4.
Do’a
Mohon Perlindungan
Manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga kadang tidak
mampu mengalahkan nafsu yang menguasainya dan mengotori hatinya. Untuk itu
penting selalu bersandar kepada kekuatan
Allah guna mengalahkan berbagai penyakit hati dan tipu daya setan laknatullah.
Allah berfirman : “Dan jika engkau diganggu oleh suatu gangguan dari syetan,
maka mohon perlindunganlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Mendengar dan Maha Tahu.” (Q.S. Fushilat : 36). Sementara itu Nabi saw
menganjurkan suatu do’a: “Ya Allah, jauhkanlah aku daripada akhlak yang buruk,
kemauan-kemauan yang buruk dan penyakit-penyakit hati. (H.R. Tirmidzi)
5.
Pengisian
Sifat-sifat Terpuji
Setelah didesak keluar sifat-sifat buruk, dan
penyakit-penyakit hati dalam diri kita, maka serentak diisi pula diri kita
dengan sifat-sifat yang baik. Pengisiian sifat-sifat terpuji ini bisa mengacu
pada sifat-sifat Allah Asmaul Husna.Seperti Maha Pengasih, Penyayang, Penolong,
Pemelihara, Maha Adil, Kaya, Gagah, dan seterusnya. Dengan mengisi sifat-sifat
terpuji dalam diri kita, maka secara otomatis sifat buruk akan tersingkir, dan
begitu pula sebaliknya. Misalnya sifat rendah hati mendesak keluar sifat
sombong, sifat pemurah mengalahkan sifat bakhil, sifat tawakal melawan sifat kecemasan, dan
sebagainya. Allah berfirman: “Tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan,
tolaklah keburukan itu dengan cara yang lebih baik…” (Q.S. Fushilat : 34).
6.
Pemeliharaan
Sesudah tertanam sifat-sifat yang baik dalam diri kita
dan mengeluarkan sifat-sifat yang buruk, maka hal tersebut harus dijaga ,
dipelihara, dan diperkuat. Sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi hawa nafsu
dan syetan untuk menyeret kita kembali kepada sifat-sifat keburukan. Untuk itu
selalu mendekatkan diri kepada Allah
dengan zikir, shalat, puasa dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Selain itu juga,
selalu menyirami hatinya dengan nasihat taqwa, berbagai aktivitas sosial, bergaul dengan orang shaleh, serta membaca
dan memahami al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri merupakan obat bagi hati
orang-orang yang beriman. “Hai manusia telah datang kepadamu nasihat dari
Tuhanmu dan penawar dari penyakit yang ada padamu dan telah datang pimpinan
serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Q.S. Yunus : 57). Dalam Surat
Al-Israa’ : 82, Allah menyatakan:”Kami turunkan Al-Qur’an sebagai obat dan
rakhmat bagi orang-orang yang beriman.”
Sementara itu menurut
Robert Frager, para sufi memiliki praktek amalan dasar, sebagai berikut 13:
1. Puasa
Puasa menahan diri dari segala macam
makanan, minuman, dan aktivitas seksual dari shubuh hingga magrib. Bangunlah
satu jam sebelum shubuh untuk makan sahur. Seusai bersantap sahur setidaknya 15 menit sebelum shubuh, gosoklah
gigi anda dan berniatlah puasa pada hari ini dengan semata-semata karena Allah.
Puasa berfungsi untuk melemahkan nafs, karena berbagai keinginan nafsu
untuk minum, makan, dan hal-hal lain yang menyenangkan, kita tahan. Padahal
pada saat tidak berpuasa, semua itu dengan mudah kita turuti.
2. Khalwat
Bagian penting dari khalwat adalah mengheningkan suasana dan berdiam
diri dalam ruangan. Bersikap tenanglah dan biarkan pikiran anda terpusat pada
Tuhan, dan bukannya terganggu oleh pandangan-pandangan dan suara-suara dari
dunia ini.
3. Shalat
Shalat merupakan sarana bagi kita untuk berhadapan langsung dengan
zat yang Maha Agung, Allah SWT. Untuk
menghadapi pertemuan tersebut, kita
harus mempersiapkan diri dengan bersuci dan berpakaian sebaik mungkin, seperti
halnya kita mau ketemu Raja. Shalat banyak sekali jenisnya, ada shalat fardhu
lima kali sehari dan shalat sunat rawatib, tahajud, dan sebagainya.
Laksanakanlah semua jenis shalat tersebut dengan khusu, seolah-olah ini
adalah shalat terakhir kita.
4. Zikir
Salah satu pengobatan hati adalah mengulang-ulang kalimat Lailaha
illa Allah. Hati anda adalah kuil yang dibangun untuk menampung kehadiran
Tuhan di dalam diri kita. Sayangnya, sebagaian besar dari kita telah
mengabaikan kuil ini dan bahkan menempatkan berhala beragam ambisi duniawi di
dalamnya. Berdzikir adalah untuk menyingkap pengetahuan, kekuatan, dan
keindahan percikan Tuhan di dalam diri kita. Salah satu praktik zikir klasik
mencakup pengulangan kalimat tauhid, La illaha illa Allah. Kalimat ini
bermakna secara literal bermakan “Tiada sesuatupun yang berhak disembah selain
Allah”. Pemujaan terhadap uang, ketenaran, kekuasaan, seks, dan seterusny,
sungguh merupakan pemujaan terhadap berhala. Artinya, kita telah, meyalahpahami
aspek terbatas dari ciptaan Tuhan sebagai Tuhan. Seluruh makanan kita, seluruh
benda yang kita miliki, seluruh kekuatan untuk bertindak-datang dari Tuhan dan
bukan dari dunia. Diriwayatkan bahwa jika anda mengucapkan kalimat ini,
sekalipun satu kali, dengan tulus dan sungguh-sungguh, seluruh dosa-dosa dan
kesalahan-kesalahan anda yang lampau diampuni. Dan anda seutuhnya disucikan
secara spiritual.
Latihan dasar zikir lainnya adalah mengulang-ulang salah satu- atau lebih- 99
nama Allah, atau sifat-sifat-Nya. Untuk memahami nama-nama tersebut, tidaklah
cukup mengulang-ulang ataupun menghapalkannya. Kita dapat terhubung dengan
tuhan dengan menemukan dan memelihara sifa-sifat Tuhan di dalam diri kita. Kita
juga harus menyadari bahwa segala sifat Tuhan yang terdapat di dalam diri kita
hanyalah percikan kecil dari sifat-sifat-Nya. Kita kerap merasa dekat dengan
Tuhan saat kita menyadari betapa kita sangat membutuhkan-Nya. Kala kita merasa
tersesat, kita memohon kepada Al-Hadi, tuhan maha pembimbing.saat kita
dalam kondisi tidak sabar, kita memohon kepada al-shabur, Tuhan Maha sabar, sumber dari
segala kesabaran. Saat melihat susunan nama tersebut, anda juga akan melihat
sejumlah nama yang berpasangan, seperti Tuhan menciptakan kehidupan dan
kematian, penderitaan dan kesenangan.
5. Merenungkan Kematian
Bayangkanlah kawan-kawan anda yang telah
meninggal dunia. Mereka berusia sama dengan anda, atau bahkan lebih muda,
ketika mereka meninggalkan dunia ini. Ingatlah penghargaan yang mereka terima,
ketenaran yang mereka raih, posisi tinggi yang mereka capai, dan harta kekayaan
yang mereka nikmati. Apa yang tertinggal dari semua itu?. Bayangkan, bagaimana
mereka meninggalkan janda dan anak yatim. Bayangkan tubuh mereka yang dahulu kuat
dan aktif, saat ini terbaring di lubang yang gelap di bawah permukaan tanah.
Terakhir, kawan-kawan anda dengan bodoh
berusaha untuk mempersiapkan kehidupan selama dua puluh tahun, ketika
kehidupan mereka tinggal kurang dari sehari. Mereka tidak pernah membayangkan
bahwa kematian akan menghampiri mereka, pada jam yang tidak disangka-sangka.
Jangan pernah menggantungkan harapan anda pada kekayaan, kekuatan, maupun
pengetahuan. Pandanglah kematian sebagai suatu yang pasti, suatu bagian dari
kehidupan seperti halnya kelahiran.
CATATAN AKHIR
1.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 301.
2. Disarikan dari Robert Frager, Heart, Self and
Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, Theological
Publishing House, Wheaton, USA, 1999. h. 23. Buku ini juga telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi, Jakarta, 2002.
4. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati, Pustaka Azzam,
Jakarta, 1999, h. 14.
5. Ir. Agus Nggermanto, Kecerdasan Quantum, Penerbit Nuansa,
Bandung, 2003. h.13.
6 Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Bulan Bintang,
Jakarta, 1979. h. 26-27.
7 Disarikan dari Robert Frager, Heart,
Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony, op
cit., h. 21-24.
10. Muhammad Sholikhin, Tasawuf
Aktual : Menuju Insan Kamil,
Pustaka Nuun, Semarang, 2004. h.
13.
12. Disarikan dari Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan
Mukmin, Pustaka Atisa, Jakarta,
h.149-160.
13. Robert Frager, op cit., h. 170-185.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Nggermanto,
Kecerdasan Quantum, Penerbit
Nuansa, Bandung, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
Hamzah Ya’qub, Tingkat
Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin,
Pustaka Atisa, Jakarta, 1992.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Keajaiban Hati,
Pustaka Azzam, Jakarta, 1999.
Muhammad
Sholikhin, Tasawuf Aktual : Menuju Insan Kamil, Pustaka
Nuun, Semarang, 2004.
Robert Frager, Heart,
Self and Soul : The Sufi Psychologi of Growth, Balance, and Harmony,
Theological Publishing House, Wheaton, USA, 1999.
Robert Frager, Psikologi
Sufi Untuk Transformasi : Hati, Diri, dan Jiwa, Serambi, Jakarta, 2002.
Yusuf Su’ab, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin,
Bulan Bintang, Jakarta, 1979.